Halaman

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Sabtu, 18 Februari 2012

IRONI HARI KASIH SAYANG

Disunting oleh Muhammad Hamdi, SH.I dari “Menelusuri Kamar-Kamar Rasulullah” oleh Prof. Jasim Muhammad Al-Muthawwa’; Maghfirah Pustaka; Jakarta; 2006

Agama Islam mengatur garis besar dan dasar-dasar kehidupan tanpa mengabaikan bentuk ataupun mekanisme segala sesuatunya. Dalam berpakaian pun Islam menyuruh untuk menutup aurat, berhias, dan berdandan. Itu adalah etika dan tatacara yang Islami. Islam juga meletakkan urusan pakaian dalam dasar-dasar ajaran agama.

Beda dengan nilai-nilai Islam yang luhur, peradaban Barat sekarang ini lebih terkonsentrasi pada penampilan penampakan luar dalam segala hal. Mulai dari masalah pakaian, make-up, perhiasan, dekorasi, bahkan hubungan antara manusia. Dan perdaban imitasi ini dipasarkan secara global dan menginternasional.

Salah satu “komoditi” imitasi itu adalah menyangkut cinta, meskipun ini sebenarnya merupakan aktivitas hati dan sesuatu yang abstrak. Namun Barat tidak membedakannya. Lahirlah perayaan yang dikenal dengan Valentine’s Day (Hari Kasih Sayang).

Falsafah dari perayaan ini adalah agar sepasang kekasih saling mengingat dengan cara saling memberi hadiah, bunga mawar, cokelat, kartu ucapan, atau yang lainnya.

Dengan cara inilah mereka mengungkapkan rasa cinta. Penuh rekayasa sehingga mereka perlu membuat sebuah hari khusus untuk merayakan kasih sayang.

Dalam peradaban Barat, kebanyakan hari-hari perayaan lahir dari sebuah krisis serta berbagai permasalahan. Seperti Peringatan Hari Buruh, untuk mengingat penganiayaan yang dilakukan kaum borjuis pada kaum buruh. Peringatan Hari Ibu diselenggarakan karena adanya kezaliman dan tiadanya penghargaan pada seorang ibu. Sementara Hari Kasih Sayang ini, dimaksudkan untuk menghidupkan cinta hakiki pada jiwa-jiwa genarasi muda mereka.

Bagi kaum Muslimin, hari peringatan dilandasi dengan kebahagiaan dan kemenangan. Hari Raya Idul Fitri adalah ungkapan kebahagiaan kaum Muslimin atas ketaatan yang telah mereka persembahkan melalui puasa, shalat, qiyamul-lail, dan dzikrullah. Hari Raya Adha adalah peringatan atas penyelamatan Isma’il putera Ibrahim as. yang telah diganti dengan seekor domba, serta kebahagiaannya memberi hadiah kepada fakir miskin.

Lihatlah, ada perbedaan yang amat esensial. Oleh karena itu, kaum Muslimin tidak memerlukan peringatan cinta dan kasih dalam hari yang khusus. Hidup kita ini berdiri di atas cinta, dimulai dari cinta Allah dan Rasul-Nya, cinta para nabi, sahabat, dan orang-orang saleh. Juga cinta pada agama, keluarga, orangtua, anak-anak, isteri, suami, dan cinta pada diri kita sendiri.

Agama Islam adalah agama cinta. Hal pertama yang dilakukan Rasulullah SAW saat merintis sebuah negara di Madinah adalah menguatkan jalinan cinta manusia pada Tuhan dan jalinan cinta antar sesama manusia. Cinta pertama diejawantahkan dalam pembangunan Masjid Nabawi, sedangkan cinta kedua terwujud dalam persaudaraan yang dijalin antara Suku Aus dan Khazraj.

Kita jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah terjadi pada zaman kita sekarang ini? Mengapa banyak sekali pengkhianatan antara suami dan isteri, perselingkuhan, dan pengkhianatan perasaan?

Ya, karena cinta tidak lagi hakiki, melainkan semu dan imitasi. Cinta dalam film-film dan sinetron telah mengendalikan akal. Dan anak-anak kita dididik seperti itu, setiap hari. Anak-anak tidak dididik dalam suasana cinta sebagaimana cinta Rasulullah SAW kepada isteri-isterinya. Sebuah kecintaan yang tulus dan murni, bukan cinta sepasang kekasih yang temporal. #
Selengkapnya.. Share

Selasa, 10 Januari 2012

PERINGATAN BAGI YANG TERLALU MUDAH MENGKAFIRKAN SESEORANG!

(Diterjemahkan dari "Mafaahiim Yajibu an Tushahhaha" karya Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani)

Banyak orang yang keliru memahami secara benar penyebab mengapa seseorang keluar dari jalur Islam dan dihukumi kafir. Mereka dengan cepat menetapkan kafir kepada seorang muslim hanya karena perselisihan pendapat, sehingga di permukaan bumi ini tidak tersisa lagi kaum muslimin kecuali sedikit saja. Namun, kita mencoba mencari pembenaran bagi mereka yang mengkafirkan karena kita ber-husnuzzhan (dugaan baik), dan kita katakan: “boleh jadi niat mereka itu baik, karena sebagai bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar”. Akan tetapi mereka lupa bahwa kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar harus dilakukan dengan hikmah dan mau’izhah hasanah, dan ketika keadaan menuntut untuk berdebat (mujadalah), hendaklah dilaksanakan dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah SWT:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ (النحل: ١٢٥)
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Cara demikian itu lebih menarik untuk diterima dan lebih diharapkan keberhasilannya. Sementara sebaliknya adalah sebuah kekeliruan dan kebodohan.
Ketika kau melihat seorang muslim yang shalat, menunaikan fardhu-fardhu Allah, menjauhi segala keharaman-Nya, menyebarkan dakwah-Nya, mendirikan masjid-masjid-Nya, dan membangun pesantren-pesantren-Nya, dan kau ajak ia pada suatu perbuatan yang kau anggap benar namun ia berlawanan denganmu --sedangkan pendapat ulama dalam perbuatan tersebut terdapat pebedaan, sebagian ulama menetapkannya dan sebagian yang lain mengingkarinya--, kemudian ia tidak menyetujui pendapatmu, lalu kau menuduhnya kafir hanya karena pendapatnya yang berlawanan denganmu, maka sungguh kau telah menghampiri sebuah malapetaka yang besar. Kau pun telah bertindak dengan sesuatu yang mengerikan. Allah telah melarangnya dan mengajakmu untuk bersikap dengan hikmah dan cara yang lebih baik.

Al-‘Allamah Al-Imam As-Sayyid Ahmad Masyhur Al-Haddad berkata: “Ijma’ telah bulat atas larangan mengkafirkan seorang ahli kiblat kecuali sebab sesuatu yang meniadakan Allah Yang Maha Pencipta, Yang Maha Kuasa, Maha Agung dan Maha Tinggi. Atau sebab syirik yang nyata yang tidak mungkin dita’wil lagi, atau sebab mengingkari kenabian, atau mengingkari ajaran agama yang telah diketahui secara dharurat, atau mengingkari mutawatir atau mengingkari ajaran agama yang mujma’ ‘alaih (disepakati) secara dharurat.”
Ajaran agama yang telah diketahui secara dharurat adalah seperti ke-Esa-an Allah, kenabian para nabi, ditutupnya kerasulan dengan Nabi Muhammad SAW, Hari Kebangkitan, hisab, balasan pahala atau dosa, surga dan neraka, di mana yang mengingkarinya adalah kafir. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk tidak mengetahuinya, kecuali orang yang baru masuk Islam sampai ia belajar, dan setelah itu tidak ada lagi alasan baginya untuk tidak tahu.
Mutawatir adalah berita yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bagi mereka untuk sepakat berbohong. Bisa dari sisi sanadnya, seperti hadis:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ 
Artinya: “Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiaplah tempatnya di neraka.”Bisa juga dari sisi tiap tingkatan generasi periwayatnya (thabaqah), seperti mutawatir-nya Al-Qur’an, di mana ke-mutawatir¬-annya meluas baik dari belahan timur maupun barat, baik dari dipelajarinya, dibacanya, dan dihafalnya. Dan telah diterima oleh seluruh manusia dari generasi ke generasi. Maka tidak perlu isnad lagi.
Terkadang mutawatir berupa amal perbuatan, seperti melakukan sesuatu yang telah ada sejak masa Rasululllah SAW hingga sekarang. Atau mutawatir dari segi pengetahuan, seperti mutawatir¬-nya mu’jizat. Meskipun sebagian mu’jizat rasul itu ahad, namun secara umum keberadaan mu’jizat pada diri rasul diketahui oleh setiap muslim.
Dengan demikian, menetapkan kafir pada diri seorang muslim dalam selain masalah-masalah yang telah kita sebutkan adalah suatu tindakan yang membahayakan. Dalam sebuah hadis:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بها أَحَدُهُمَا (رواه البخاري عن أبي هريرة رضي الله عنه)
Artinya: “Apabila seorang laki-laki berkata kepada saudaranya: ‘Hai kafir!’, maka sungguh salah satu dari keduanya telah kembali (menjadi kafir) sebab (ucapan)nya.” (Hadis diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a) 
Tuduhan kekafiran tidak patut diutarakan kecuali oleh orang-orang yang telah mengetahui –dengan pengetahuan syari’atnya yang mendalam-- pintu keluar-masuknya kufur, dan batasan-batasan yang memisahkan antara kekafiran dan keimanan dalam hukum syari’at.
Selengkapnya.. Share