Halaman

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Minggu, 18 Desember 2011

TEORI AL-MAWARDI TENTANG IMAMAH (KEPALA NEGARA - Part 1)

Al-Mawardi[1] adalah seorang yuris Sunni yang terkenal. Dia menulis Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah sebagai upaya menegaskan kekuasaan khalifah Abbasiyah melawan para penguasa (amir) dinasti Buwayhiyah yang sangat efektif pengaruhnya dan menghadapi ekspansi pengaruh dinasti Fatimiyah Ismailiyah di Mesir.Karya tersebut dapat dianggap sebagai basis teoritis bagi sebuah "kesepakatan" pembagian wewenang antara khalifah yang menangani urusan keagamaan dan lembaga-lembaga yang dibentuk khalifah yang bertugas menangani urusan pemerintahan.

Al-Mawardi tidak berbicara secara eksplisit tentang negara dalam buku Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah. Beliau juga tidak membicarakan konsep ummah secara jelas. Meski demikian, pandangan Al-Mawardi tentang negara secara tidak langsung dapat diketahui dengan membahas teorinya tentang imamah dan imam. 
Dalam perspektif kontemporer, lembaga imamah tersebut dapat diidentikkan dengan lembaga kepresidenan, sedangkan imam dapat disejajarkan dengan presiden atau kepala negara.. Al-Mawardi memandang imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam negara. Ia juga menyatakan bahwa tugas utama imamah ialah menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al-Mawardi,
الإِماَمَةُ مَوضُوعَةٌ لِخِلافَةِ النُّبُوَّةِ فِي خِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْياَ
Dalam teori Al-Mawardi, pelembagaan imamah dilakukan karena adanya perintah agama, dan bukan karena pertimbangan akal.
Pemilihan imam dilakukan melalui ijma' (konsensus) umat Islam, dan hukumnya adalah wajib. Dengan kata lain, imam dipilih melalui sebuah pemilihan yang dilakukan oleh pemilih yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Teori Al-Mawardi ini jelas bertentangan dengan pendapat Syi'ah yang menyatakan bahwa jabatan imam ditetapkan atas dasar nash (penetapan oleh Tuhan atau Nabi) atau penunjukan langsung oleh imam sebelumnya dari kalangan keluarga ahlul bayt.
Pengangkatan atau pemilihan imam dipandang oleh al-Mawardi sebagai kewajiban sosial atau bersama (fardhu kifayah), seperti kewajiban mencari ilmu pengetahuan, mengajar atau duduk sebagai hakim.
Menurut Al-Mawardi, pemilih atau anggota lembaga pemilih haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai rasa adil ('adalah), punya pengetahuan cukup tentang calon yang akan dipilih dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk jabatan itu, serta punya pikiran sehat dan kebijakan (kearifan) sehingga mampu memilih orang yang terbaik dan paling mampu mengurus kepentingan orang banyak. 

_______________________________________
[1]  Nama lengkap Al-Mawardi adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi al-Bashri Asy-Syafi'i. Dilahirkan di kota Bashrah, Irak pada 364 H/974 M, ketika kebudayaan Islam mencapai masa-masa keemasannya di tangan para khalifah Daulah Abbasiyah. Kota kedua tempat Al-Mawardi belajar, setelah Bashrah, adalah Baghdad. Di sinilah anak penyuling dan penjual air mawar ini belajar. "Mawardi" berasal dari kata ma' (air) dan ward (mawar).
Disamping sebagai penulis yang produktif, Al-Mawardi adalah seorang hakim agung yang berkedudukan di kota Naisabur, diangkat pada tahun 429 H. Jabatan hakim agung (qadhi al-qudhat) tersebut terus dipegang sampai wafatnya pada tahun 450 H. 
Share

Related Post | Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentar