Halaman

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Kamis, 22 Desember 2011

Download Kitab Klasik


  • Download kitab Fathul Mu'in, Zainuddin Al-Malibari klik disini
  • Download kitab Fathul Wahhab, Zakaria Al-Anshari, klik disini 
  • Download kitab I'anah ath-Thalibin, Abu Bakr bin Muhammad Syatho', klik disini
  • Download kitab Asna al-Mathalib, Zakaria Al-Anshari, klik disini   
  • Download kitab Tuhfah ath-Thullab, Zakaria Al-Anshari, klik disini  
  • Download kitab Manaqib Imam Asy-Syafi'i, Fakhruddin Ar-Razi, klik disini 
  • Download kitab Fath al-Qarib, Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, klik disini  
  • Download kitab Qut al-Habib al-Gharib (Tausyih 'ala Fath al-Qarib), Syeikh Nawawi Banten, klik disini 
  •  
Selengkapnya.. Share

Penggunaan Istilah "Kitab Kuning"

Istilah Kitab Kuning (KK) pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada merendahkan (pejorative). Dalam pandangan mereka, ia dianggap sebagai kitab yang berkadar rendah, ketinggalan zaman dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berfikir umat. Pada mulanya sangat menyakitkan memang, tetapi kemudian nama KK diterima sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan.
Meskipun sebagian besar kalangan pesantren sudah bisa menerimanya, namun masih terdapat sebagian yang lain yang mempersoalkan istilah KK tersebut. Kelompok yang terakhir ini mengusulkan istilah lain yang lebih appresiatif untuk menyebut KK, misalnya dengan nama kitab klasik, al-kutub al-qadimah.
Dalam Simposium Nasional I "Kitab Kuning dan Lektur Islam" ICMI di Cisarua Bogor, 25-27 Januari 1994, seorang utusan dari salah satu pesantren di Jakarta, KH. Masyhuri Syahid, MA., misalnya, mengusulkan agar simposium ini dapat membuat rekomendasi untuk mengganti istilah KK dengan istilah yang lebih baik.

________
Dikutip dari buku "Membedah Diskursus Pendidikan Islam" oleh DR. Affandi Mochtar, Penerbit Kalimah, Ciputat, Juni 2001, cetakan ke-1, halaman 36.
Selengkapnya.. Share

TEORI AL-MAWARDI TENTANG IMAMAH (KEPALA NEGARA – Part 3/Habis)

Al-Mawardi dengan tegas menolak pendapat yang membolehkan adanya dua imam atau lebih pada waktu bersamaan. Dalam masalah ini, beliau tampaknya menyimpang dari doktrin Al-Asy’ari yang membolehkan adanya dua imam pada waktu yang bersamaan asal wilayah kekuasaannya terpisah jauh. Pendapat Al-Mawardi ini didasarkan pada argumen keagamaan, sebab bai’ah hanya bisa diberikan kepada satu orang pada satu waktu. Jika kemudian dilakukan bai’ah terhadap orang lain, maka kontrak yang kedua menjadi batal, sebagaimana berlaku dalam pernikahan.

Al-Mawardi juga menyebutkan tugas dan tanggungjawab seorang imam yang meliputi:
1. Menjaga prinsip-prinsip agama yang mapan dan yang menjadi konsensus generasi Islam awal.
2. Melaksanakan hukum (peradilan) di kalangan masyarakat, dan melerai pertengkaran antara dua kelompok bertikai.
3. Memelihara kehidupan perekonomian masyarakat sehingga rakyat memilki rasa aman atas diri dan hartanya.
4. Menegakkan hukuman untuk menjaga hak-hak manusia dari penindasan dan perampasan.
5. Membentengi perbatasan negara untuk mencegah serbuan (serangan) musuh.
6. Melakukan jihad melawan musuh Islam, melalui dakwah agar mereka menjadi muslim atau menjadi ahl adz-dzimmah (non muslim yang tinggal di bawah kekuasaan Islam).
7. Mengumpulkan fai’ (rampasan dari musuh bukan dengan perang) dan zakat.
8. Mengatur kekayaan negara yang ada di bait al-mal, dengan memperhatikan keseimbangan (tidak boros dan tidak pelit, tapi seimbang dan proporsional).
9. Mengikuti nasihat orang yang bijaksana dan menyerahkan urusan pemerintahan dan keuangan kepada orang-orang yang dipercaya.
10. Melakukan pengawasan terhadap urusan-urusan pemerintahan dan mengawasi keadaan, untuk mengatur kehidupan umat dan memelihara agama.

Menurut Al-Mawardi, selama seorang imam mampu melaksanakan tanggungjawab dan kewajibannya dan tetap memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan, maka rakyat wajib memberikan loyalitas dan dukungan terhadap kepemimpinannya. Tetapi, jika imam tidak lagi memenuhi syarat dan tanggungjawabnya, maka sangat dimungkinkan terjadinya pemberhentian imam dari jabatannya. Secara garis besar, dalam teori Al-Mawardi, ada dua penyebab utama gugurnya kontrak antara imam dan rakyat: yaitu, jika imam berlaku tidak adil, dan jika imam mengalami cacat fisik. Jika hal ini terjadi, maka harus dilakukan pemilihan terhadap imam yang baru dengan kontrak yang baru pula.
Sebagai seorang penganut faham Syafi’i, Al-Mawardi menyetujui pemberhentian imam apabila didapati bersalah karena penyelewengan dan ketidakadilan. Selain itu, pemecatan imam juga disebabkan oleh hilangnya kesehatan jasmani dan mental, seperti menjadi gila, buta, dan kedua belah tangan atau kakinya terpotong, atau jika ia ditangkap oleh musuh dan tidak dapat membebaskan dirinya. @#
Selengkapnya.. Share

Senin, 19 Desember 2011

TEORI AL-MAWARDI TENTANG IMAMAH (KEPALA NEGARA – Part 2)

Konsep Al-Mawardi tentang pembentukan lembaga imamah dan pemilihan imam menyerupai konsep “kontrak” yang melibatkan dua pihak, yaitu imam (ahl imamah) dan rakyat atau pemilih (ahl al-ikhtiyar), atau ahl hall wa’l-‘aqd (orang yang mengurai dan mengikat). Ahl hall wa’l-‘aqd ini dapat dipandang sebagai sebuah lembaga yang mewakili aspirasi rakyat pada umumnya. Para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai jumlah anggota ahl hall wa’l-‘aqd. Sebagian berpendapat bahwa imam hanya dapat dipilih oleh mayoritas anggota ahl hall wa’l-‘aqd setiap negeri (bagian) agar dapat diperoleh persetujuan mayoritas rakyat. Tetapi Al-Mawardi mempertanyakan pendapat ini, karena fakta sejarah menunjukkan bahwa peristiwa bai’ah terhadap Abu Bakar sebagai khalifah dapat dilakukan hanya oleh orang-orang di Madinah, tanpa harus menunggu bai’ah dari mereka yang berada di luar Madinah.

Selain metode pemilhan melalui lembaga ahl al-ikhtiyar atau ahl hall wa’l-‘aqd, Al-Mawardi membolehkan pengangkatan atau penunjukan imam oleh imam yang sedang berkuasa tanpa meminta pertimbangan dari ahl al-ikhtiyar, asalkan calon penggantinya bukan ayahnya atau anak laki-lakinya.
Tentang hal ini, ada baiknya dikemukakan pendapat Abu Ya’la[1] yang juga menulis buku berjudul Al-Ahkam Al-Sulthaniyah. Menurut Abu Ya’la, pertimbangan dari ahl hall wa’l-‘aqd tetap diperlukan, karena ia membedakan antara langkah-langkah pencalonan imam dan kontrak (bai’ah) imam. Imam yang sedang berkuasa berhak untuk mengajukan calon penggantinya, tetapi bai’ah tetap menjadi hak ahl hall wa’l-‘aqd pada saat penggantian. Bahkan Abu Ya’la menambahkan bahwa imam tidak boleh menentukan atau mencalonkan ahl al-ikhtiyar yang akan memberikan bai’ah kepada calonnya. Dengan demikian konsep Abu Ya’la mengenai ‘ahd atau istikhlaf tampak menjunjung tinggi peranan penting kehendak rakyat dalam memilih imam, karena dengan demikian rakyat relatif terwakili oleh lembaga ahl hall wa’l-‘aqd.

Menurut Al-Mawardi, seorang imam atau calon imam harus memenuhi tujuh persyaratan, yaitu:
1. Harus memiliki rasa keadilan (‘adalah)
2. Harus mempunyai pengetahuan (‘ilm) yang memadai yang memungkinkannya mampu memutuskan berbagai kasus menurut ijtihadnya
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraannya
4. Sehat tubuh, tidak cacat yang dapat menghambatnya bergerak cepat dalam melaksanakan tugasnya
5. Berwawasan luas sehingga dapat mengurus persoalan orang banyak dan menangani urusan mereka
6. Punya keberanian melindungi wilayah (teritori) Islam dan melaksanakan jihad terhadap musuh
7. Punya garis keturunan dari Quraisy

Kualifikasi terakhir ini tidaklah dipandang sebagai suatu keharusan oleh pemikir-pemikir Sunni setelahnya dan penulis-penulis modern, sebab kualifikasi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan persamaan hak antara sesama muslim tanpa memandang asal-usul atau keturunannya. Bahkan Rasululllah SAW sendiri diakui oleh kaum Sunni tidak pernah menyatakan dengan tegas siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin umat.

__________________________________
[1] Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husein bin Muhammad Al-Farra’ Al-Hanbali (380-458 H). Mengarang sejumlah kitab tentang politik dan administrasi negara. Antara lain, Itsbat Al-Imamah wa Al-Khulafa’ Al-Arba’ah, Al-Amr bi Al-Ma’ruf, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah dan lain-lain. Abu Ya’la adalah juga Qadhi Al-Qudhat kota Baghdad atas penunjukan Khalifah Al-Qaim Bi Amrillah (Muhammad bin Ubaidillah Al-Mahdi), khalifah penerus kekhalifahan Al-Qadir Billah.
Selengkapnya.. Share

Minggu, 18 Desember 2011

TEORI AL-MAWARDI TENTANG IMAMAH (KEPALA NEGARA - Part 1)

Al-Mawardi[1] adalah seorang yuris Sunni yang terkenal. Dia menulis Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah sebagai upaya menegaskan kekuasaan khalifah Abbasiyah melawan para penguasa (amir) dinasti Buwayhiyah yang sangat efektif pengaruhnya dan menghadapi ekspansi pengaruh dinasti Fatimiyah Ismailiyah di Mesir.Karya tersebut dapat dianggap sebagai basis teoritis bagi sebuah "kesepakatan" pembagian wewenang antara khalifah yang menangani urusan keagamaan dan lembaga-lembaga yang dibentuk khalifah yang bertugas menangani urusan pemerintahan.

Al-Mawardi tidak berbicara secara eksplisit tentang negara dalam buku Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah. Beliau juga tidak membicarakan konsep ummah secara jelas. Meski demikian, pandangan Al-Mawardi tentang negara secara tidak langsung dapat diketahui dengan membahas teorinya tentang imamah dan imam. 
Dalam perspektif kontemporer, lembaga imamah tersebut dapat diidentikkan dengan lembaga kepresidenan, sedangkan imam dapat disejajarkan dengan presiden atau kepala negara.. Al-Mawardi memandang imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam negara. Ia juga menyatakan bahwa tugas utama imamah ialah menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al-Mawardi,
الإِماَمَةُ مَوضُوعَةٌ لِخِلافَةِ النُّبُوَّةِ فِي خِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْياَ
Dalam teori Al-Mawardi, pelembagaan imamah dilakukan karena adanya perintah agama, dan bukan karena pertimbangan akal.
Pemilihan imam dilakukan melalui ijma' (konsensus) umat Islam, dan hukumnya adalah wajib. Dengan kata lain, imam dipilih melalui sebuah pemilihan yang dilakukan oleh pemilih yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Teori Al-Mawardi ini jelas bertentangan dengan pendapat Syi'ah yang menyatakan bahwa jabatan imam ditetapkan atas dasar nash (penetapan oleh Tuhan atau Nabi) atau penunjukan langsung oleh imam sebelumnya dari kalangan keluarga ahlul bayt.
Pengangkatan atau pemilihan imam dipandang oleh al-Mawardi sebagai kewajiban sosial atau bersama (fardhu kifayah), seperti kewajiban mencari ilmu pengetahuan, mengajar atau duduk sebagai hakim.
Menurut Al-Mawardi, pemilih atau anggota lembaga pemilih haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai rasa adil ('adalah), punya pengetahuan cukup tentang calon yang akan dipilih dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk jabatan itu, serta punya pikiran sehat dan kebijakan (kearifan) sehingga mampu memilih orang yang terbaik dan paling mampu mengurus kepentingan orang banyak. 

_______________________________________
[1]  Nama lengkap Al-Mawardi adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi al-Bashri Asy-Syafi'i. Dilahirkan di kota Bashrah, Irak pada 364 H/974 M, ketika kebudayaan Islam mencapai masa-masa keemasannya di tangan para khalifah Daulah Abbasiyah. Kota kedua tempat Al-Mawardi belajar, setelah Bashrah, adalah Baghdad. Di sinilah anak penyuling dan penjual air mawar ini belajar. "Mawardi" berasal dari kata ma' (air) dan ward (mawar).
Disamping sebagai penulis yang produktif, Al-Mawardi adalah seorang hakim agung yang berkedudukan di kota Naisabur, diangkat pada tahun 429 H. Jabatan hakim agung (qadhi al-qudhat) tersebut terus dipegang sampai wafatnya pada tahun 450 H. 
Selengkapnya.. Share

Jumat, 16 Desember 2011

QIRA'AH AL-QUR'AN

Oleh: Muhammad Hamdi, SH.I

“Qira’ah” adalah mashdar sama’i dari kata “qara-a” yang berarti bacaan. Secara istilah qira’ah yang dimaksud di sini adalah cara membaca dan mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an yang digunakan oleh para imam qurra’.
Al-Qur'an telah sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Karena itu bacaan syadz (yang tidak bisa dikenal) tidak termasuk Al-Qur’an dan tidak disepakati para qurra'. Adapun bacaan yang mutawatir ialah bacaan imam yang tujuh yang dikenal dengan al-Qurra’ as-Sab’ah, yaitu:


1). Ibnu Katsir (Makkah, wafat 120 H)
2). Nafi' (Madinah, wafat 169 H)
3). Ibnu 'Amir (Syam, wafat 118 H)
4). Abu 'Amr Ibnu Al-'Ala' (Basrah, wafat 157 H)
5). 'Ashim (Kufah, wafat 127 H)
6). Hamzah (Kufah, wafat 156 H)
7). Al-Kisa’i (Kufah, wafat 189 H)


Selain tujuh qurra’ di atas, ada tiga qurra’ lagi yakni Abu Ja’far Al-Madani , Ya’kub Al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam . Sepuluh qurra’ ini disebut al-Qurra’ al-‘Asyrah. Selain qira’ah dari sepuluh imam ini disebut syadz seperti qira’ah-nya Al-Yazidi, Al-Hasan, Al-A’masy dan lain-lain. Jalaluddin Al-Bulqini berpendapat bahwa qira’ah tiga imam disebut dengan ahad.
Menurut Manna’ Al-Qattan bisa saja terdapat bacaan yang syadz pada salah satu qira’ah sepuluh tersebut, karena munculnya pilihan al-Qurra’ as-Sab’ah terjadi pada abad ketiga Hijriyah oleh ulama muta’akhirin, padahal saat itu qurra’ yang memiliki kredibilitas ilmiah lebih banyak dari itu. Dan pada mulanya, Ya’kub Al-Hadhrami termasuk dari al-Qurra’ as-Sab’ah, namun Abu Bakar bin Mujahid[1] menghapus nama Ya’kub dan menetapkan nama Al-Kisa’i.
Pendapat Abu Syamah[2] dalam kitabnya “al-Mursyid al-Wajiz” mungkin bisa menjadi penengah. Menurutnya, yang menjadi i’timad (standar acuan) adalah kriteria bacaannya bukan dari siapa bacaan (qira’ah) itu dinisbatkan. Bacaan yang dinisbatkan dari setiap qari’, baik al-Qurra’ as-Sab’ah ataupun selainnya, diklasifikasikan menjadi al-mujma’ alaih (yang disepakati) dan asy-syadz. Hanya saja, karena popularitas al-Qurra’ as-Sab’ah dan banyaknya riwayat shahih yang disepakati pada qira’ah mereka, sehingga kecenderungan hati untuk memilih salah satu dari mereka lebih besar daripada qari’ lain.
Analogi untuk menentukan qira’ah shahihah (yang benar) adalah sebagai berikut:
a). Qira’ah tersebut sesuai dengan salah satu versi dalam bahasa Arab
b). Qira’ah tersebut sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani meskipun tidak nyata (ihtimal), seperti qira’ah مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ dengan Alif. Dalam seluruh mushaf kata “مَلِك” ditulis tanpa Alif dan dibaca “مَالِك” dengan Alif. Inilah yang dimaksud dengan sesuai secara ihtimal. Contoh lainnya adalah penulisan kata “بَسْطَةً“ dalam surat Al-Baqarah ayat 247 dan kata “بَصْطَةً“ dalam surat Al-A’raaf ayat 69, di mana yang pertama ditulis dengan menggunakan huruf Sin dan yang kedua dengan Shad.
c). Qira’ah tersebut diriwayatkan dengan sanad yang shahih. Karena qira’ah adalah jalan yang harus diikuti maka ia harus berasal dari sumber yang benar dan disampaikan dengan benar pula meskipun lemah menurut tata bahasa. Tidak sedikit dijumpai dalam qira’ah Al-Qur’an kalimat yang berlawanan dengan kaidah tata bahasa (nahwu). Namun selama berdasar sanad yang benar, maka qira’ah tersebut harus diikuti, seperti membaca khafdh/jar kata “وَالْأَرْحَامِ “ pada ayat [3] وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَام.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa qira’ah sab’ah adalah mutawatirah dan tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan selain mutawatir, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Di antara contoh qira’ah yang tidak mutawatirah yaitu qira’ahnya Ibnu ‘Abbas

[4] وكاَنَ أَمامَهُم مَلِكٌ يَأخُذُ كُلَّ سَفِينةٍ صَالِحَةٍ[5] ,   لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسَكُمْ

________________________________________

[1] Qari’ penduduk Irak, wafat 324 H
[2] Abu Syamah bernama asli Abdurrahman bin Ismail Al-Maqdisi Ad-Dimasyqi, seorang mu’arrikh (pakar sejarah) dan muhaddits (pakar hadis). Lahir pada tahun 599 H/1202 M dan wafat pada tahun 665H/1267M di Damaskus. Di antara karyanya adalah kitab Ar-Raudhatain fii Akhbar ad-Daulatain, Al-Mursyid Al-Wajiz dan Tarajim Rijalul Qarnain
[3] Artinya: Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. QS. An-Nisaa’ (4) ayat 1.
[4] QS. At-Taubah (9) ayat 128. Yakni dengan membaca fathah kata “أَنْفُسَكُمْ“. Yang mutawatirah adalah dengan kasrah. 
[5] Qira’ah mutawatirahnya adalah وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا. QS. Al-Kahfi (18) ayat 79


 
Selengkapnya.. Share

Kamis, 15 Desember 2011

HUKUM BERBICARA KETIKA KHUTBAH JUM’AT

Oleh: Muhammad Hamdi, SH.I

A. Landasan
Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ (رواه مسلم)
Artinya: Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau berkata kepada temanmu ‘diamlah!’ di hari Jum’at, dalam keadaan imam sedang khutbah, maka engkau (shalat Jum’atmu) sia-sia”. (HR. Muslim)


B. Penjelasan Hadis
1. Mufrodat Hadis
a. Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim
قَالَ أَهْل اللُّغَة : يُقَال : لَغَا يَلْغُو كَغَزَا يَغْزُو ، وَيُقَال : لَغِيَ يَلْغَى كَعَمِيَ يَعْمَى ، لُغَتَانِ الْأُولَى أَفْصَح ، وَمَعْنَى ( فَقَدْ لَغَوْت ) أَيْ قُلْت اللَّغْو ، وَهُوَ الْكَلَام الْمَلْغِيّ السَّاقِط الْبَاطِل الْمَرْدُود ، وَقِيلَ : مَعْنَاهُ قُلْت غَيْر الصَّوَاب ، وَقِيلَ : تَكَلَّمْت بِمَا لَا يَنْبَغِي .

Menurut ahli bahasa, kata "laghw" berasal dari derivasi لَغَا- يَلْغُو . Maksud dari “فَقَدْ لَغَوْت” dalam hadis di atas adalah “engkau telah berbicara sia-sia (laghw). Laghw adalah ucapan yang sia-sia, gugur, batal dan ditolak. Dikatakan pula maksudnya ialah “kau berbicara tidak benar”.

b. Fathul Baari li Ibni Rajab
واللغو : هو الكلام الباطل المهدر ، الذي لا فائدة فيه. ومنه : لغو اليمين ، وهو مالا يعبأ به ولا ينعقد.

2. Pemahaman Hadis

Dalam hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan untuk diam dan mendengarkan khutbah. Dan shalat Jum’at dinilainya sia-sia (laghw) bagi orang yang mengucapkan “diamlah!” kepada orang lain saat khutbah Jum’at berlangsung, meskipun ucapan tersebut berupa amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Hal demikian menunjukkan bahwa segala bentuk ucapan yang mengalihkan dari mendengarkan khutbah, dikategorikan sebagai laghw. Seseorang hanya diperbolehkan memberi isyarat untuk mendiamkan orang lain.
Tidak ada perbedaan pendapat antara ulama akan kebolehan memberi isyarat, kecuali Thawus[1] , karena isyarat ketika shalat diperbolehkan, terlebih ketika khutbah.
Hukum diam dan mendengarkan khutbah itu sendiri, serta berbicara saat khutbah, terdapat perbedaan pendapat ulama. Pertama, haram hukumnya berbicara saat khutbah. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i –dalam qaul qadim-nya-, Ahmad (menurut riwayat yang masyhur darinya), Al-Auza’i dan mayoritas ulama. ‘Atha dan Mujahid mengatakan bahwa diam saat khutbah wajib hukumnya. Kedua, hukum berbicara saat khutbah adalah makruh. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi'i dalam qaul jadid¬nya dan Ahmad (menurut salah satu riwayat).
Berbicara yang diperbolehkan saat khutbah hanyalah perkataan yang diperbolehkan untuk memutus shalat, seperti mengingatkan orang buta yang akan jatuh ke dalam sumur atau semisalnya.
Ulama sepakat bahwa yang paling utama ketika khutbah adalah diam dan mendengarkannya. Ini lebih utama daripada berzikir dalam hati, membaca Al-Qur’an atau berdo’a.
Adapun menjawab salam (dari pendengar lain) dan mendoakan orang bersin, juga terdapat perbedaan pendapat ulama.
Ulama juga berselisih pendapat jika imam membaca shalawat atas Nabi SAW, apakah ma’mum juga turut membaca shalawat atau tidak? Sebagian mengatakan, ma’mum membaca shalawat dalam hati. Ini adalah pendapat Malik, Abu Yusuf, Ahmad dan Ishaq.
Jika imam membaca surat Al-Ahzab ayat 56 yaitu:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
sebagian Syafi’iyyah (pengikut Asy-Syafi'i) mengatakan boleh bagi ma’mum membaca shalawat dan mengeraskan suaranya. Segolongan lain berpendapat tidak boleh. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Al-Laits bin Sa’d, Malik (dalam satu riwayat) dan Asy-Syafi'i.
_________________________

[1]Abu Abdirrahman Thawus bin Kaisan Al-Yamani Al-Janadi. Seorang Tabi’in yang menjumpai 50 Sahabat. Wafat di Makkah tahun 111 H.
Selengkapnya.. Share