Halaman

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Rabu, 10 September 2014

Khutbah Jum'at

DIMENSI SOSIAL DALAM IMAN 
(Oleh: Muhammad Hamdi, SH.I)

 الحمد لله الواحدِ القهَّارِ، العزيزِ الغفَّار، مُقَدِّرِ الأقدارِ، مُكَوِّرِ اللّيلِ على النهارِ. أَحْمَدُهُ أبلغَ الحمدِ على جميع نِعَمِهِ، وأسأَلُه المزيدَ من فضلِهِ وكَرَمِهِ. وأشهد أن لا إله إلا اللهُ العظيمُ، الواحدُ الصّمدُ العزيزُ الحكيمُ. وأشهدُ أنَّ محمّدًا عبدُهُ ورسولُه أفضلَ المخلوقِينَ. اللّهمّ صلِّ وسلِّمْ على سيّدِنا محمّدٍ وعلى سائر النبيّين، وآلِ كُلٍّ وسائرِ الصّالحينَ.
أمّا بعد – فَيا عبادَ الله، أُوصي نفسي وإيّاكم أن اتّقوا اللهَ، فاتّقوا اللهَ حقّ تُقاتِه ولا تَموتُنّ إلا وأنتم مسلمون. وقال تعالى في كتابه الكريم وهو أصدَقُ القائلين: فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. صدق اللهُ العظيمُ

Ma’asyiral Muslimin wa zumratal mu’miniin, rahimakumullah. Segala puji dan syukur hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, atas limpahan nikmat dan karunia-nya kepada kita sepanjang siang dan malam, sehingga kita mampu duduk bersimpuh di masjid ini dengan penuh damai dan rasa tentram. Semoga Allah menerima dan membalas segala amal ibadah kita, baik yang tengah kita lakukan ataupun yang silam. Shalawat dan salam dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai seorang insan terpilih yang membawa dan mengajarkan nilai-nilai Islam. Juga dihaturkan kepada keluarga, sahabat dan para pengikutnya baik dari golongan kulit putih ataupun kulit hitam. Semoga kelak kita diakui sebagai umatnya dan mendapatkan syafa’atnya di hari Akhir, hari yang sangat mencekam. Amiin..yaa Mujiibas Saailiin.

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah. Dalam kesempatan yang singkat ini, al-faqir mengajak khususnya kepada diri al-faqir sendiri dan kepada hadirin jamaah Jum’at pada umumnya, untuk marilah kita pelihara dan tingkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah Allah dan memperbanyak amal shaleh, serta meninggalkan segala hal yang dilarang oleh Allah SWT. Teruslah bertekad untuk menjadi seorang hamba yang benar-benar mencintai dan dicintai oleh Allah SWT. 

Ma’asyiral Muslimin wa zumratal mu’miniin, rahimakumullah. Menjadi seorang mukmin sejati merupakan dambaan kita semua. Memiliki keimanan yang sempurna adalah cita-cita kita bersama. Namun bagaimana gambaran seorang mukmin sejati itu? adakah kita telah memiliki sifat-sifat seorang mukmin yang benar-benar dalam imannya? Iman adalah kepercayaan sepenuh hati. Beriman kepada Allah berarti mempercayai sepenuh hati akan adanya Allah dengan segala sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna. Ketika rasa percaya tersebut telah melekat kuat di hati seseorang, ia bisa disebut sebagai mukmin. Sekilas tampaknya iman tidak mengandung nilai sosial. Ia hanya mengandung nilai spiritual. Namun, sesungguhnya iman tidak hanya mengajarkan nilai-nilai spiritual atau ketuhanan dalam diri pemiliknya. Iman bukan hanya berdimensi personal, yang menanamkan hubungan yang baik antara seorang hamba dengan Allah semata. Lebih dari itu, iman juga mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, iman pun memiliki dimensi sosial, di mana pemiliknya dituntut untuk menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya, sesama makhluk. Hadirin jama’ah jum’at yang dirahmati Allah. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim dan Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda:
 مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ 
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah dengan kebaikan atau diamlah. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka muliakanlah tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka muliakanlah tamunya.” 

Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita akan dimensi sosial dalam keimanan. Ada 3 nilai sosial yang bisa kita temukan di sana. Yang pertama adalah berkata atau berbicara dengan perkataan yang baik. Seorang mukmin sejati selalu memiliki rasa takut akan ancaman Allah, senantiasa mengharapkan pahala-pahala Allah dan berusaha semaksimal mungkin untuk meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena bahaya lisan itu sangat besar dan banyak, seorang mukmin selalu mempertimbangkan tentang hal apa yang akan ia ucapkan. Jika itu baik dan membawa kemashlahatan, ia akan berbicara. Jika tidak, maka ia diam. “Pembicaraan” dalam bahasa Al-Qur’an dinamai dengan “kalam”. Dari akar kata yang sama dibentuk pula kata yang berarti “luka” agar menjadi peringatan bahwa pembicaraan juga dapat melukai. Bahkan luka yang diakibatkan oleh lidah bisa lebih parah daripada yang diakibatkan oleh pisau. Ini seharusnya mengantarkan seseorang untuk selalu berhati-hati dan memikirkan dahulu apa yang akan diucapkannya. Pepatah berkata: “anda menawan apa yang akan anda ucapkan, tetapi begitu terucapkan, maka andalah yang menjadi tawanannya.” Luqman al-Hakim berkata kepada puteranya: “wahai anakku, aku tidak menyesali diam sama sekali. Jika berbicara itu adalah perak, maka diam adalah emas.”
Ada sementara orang yang memiliki “nafsu” berbicara melebihi selera makannya. Ia berbicara tentang apa saja seakan-akan ia mengetahui segala sesuatu atau seakan-akan hidupnya hanya untuk berbicara. Ingatlah selalu, bahwa setiap ucapan kita disaksikan oleh malaikat. Allah SWT berfirman dalam Surat Qaaf:
 مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ 
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” 

Dengan memahami ayat ini, seharusnya kita bisa memikirkan tentang apa yang akan kita ucapkan. Jika itu baik, maka ucapkanlah. Jika tidak, maka diam adalah pilihan terbaik. 

Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah. Nilai sosial yang kedua adalah memuliakan tetangga. Banyak sekali hadis Nabi yang mengajak kita untuk menghormati dan tidak menyakiti tetangga. Malaikat Jibril selalu berpesan kepada Nabi mengenai hak-hak tetangga. Karena seringnya Jibril mengingatkan Nabi akan hak tetangga, sampai-sampai Nabi menduga bahwa antara tetangga bisa saling mewarisi harta pusaka. Bentuk memuliakan tetangga adalah dengan berbuat baik kepadanya, tidak menyakitinya dan membuat tetangga selalu merasa aman dan nyaman dari sikap pribadi kita. Mengenai hak-hak bertetangga, Islam tidak membedakan antara tetangga yang muslim ataupun non-muslim. Karena mereka para tetangga adalah orang yang pertama kali melihat keadaan kita di rumah, orang yang mengetahui apa yang masuk dan apa yang keluar dari dan ke rumah kita. Maka sudah seyogyanya hak-hak bertetangga ini ditunaikan dengan baik. Terlebih jika tetangga kita itu adalah kerabat kita sendiri dan sesama muslim. Jika seseorang berbuat kemaksiatan yang sifatnya pribadi, namun cukup membuat tetangganya merasa terganggu, tidak merasa nyaman, maka belumlah ia dikatakan memuliakan tetangga.

Hadirin jamaah Jum’at yang berbahagia. Nilai sosial yang ketiga adalah memuliakan tamu. Memuliakan tamu termasuk akhlak yang terpuji. Bahkan sebagian ulama menilainya sebagai ibadah dan mewajibkannya. Memuliakan tamu juga merupakan akhlak para nabi dan orang-orang shaleh. Anjuran memuliakan tamu hendaknya dilakukan oleh seorang mukmin tanpa membedakan tamunya, baik dari golongan orang kaya ataupun orang miskin, dari golongan berpangkat ataupun rakyat biasa. Memuliakan tamu dilakukan dengan cara menghidangkan makanan yang baik yang disukai dan mengajaknya bercakap-cakap dengan ramah. Belumlah disebut mukmin sejati jika seseorang menghidangkan makanan kepada tamunya dengan makanan yang lebih buruk dari yang ia makan. Sebuah kisah diriwayatkan dari salah seorang ulama bernama Al-Auza’i, bahwa seseorang berkata kepadanya: “wahai Abu ‘Amr, ada seorang tamu yang menginap di rumah kami, lalu kami menghidangkan zaitun dan acar, padahal kami memiliki makanan yang lebih baik dari itu yaitu madu dan mentega.” Al-Auza’i pun berkata: “yang berbuat demikian bukanlah orang yang beriman kepada Allah.”

Hadirin jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah. Selain tiga nilai sosial yang disebutkan tadi, masih ada nilai sosial lainnya dalam sebuah keimanan yang disebutkan dalam hadis yang berbeda. Di antaranya adalah mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia mencintainya untuk dirinya sendiri. Perlakukanlah dan bersikaplah kepada saudara kita dengan perlakuan-perlakuan dan sikap-sikap yang kita sukai jika seandainya perlakuan itu dilakukan oleh orang lain terhadap kita. Serta hindari hal-hal yang tidak menyenangkan hati saudar-saudara kita, sebagaimana kita pun tidak suka jika orang lain menyakiti hati kita. Nabi SAW bersabda:
 لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ 
“Tidak beriman (dengan iman yang sempurna) salah seorang dari kalian, sehingga ia mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri.”

Sebelum kita akhiri khutbah ini, kembali khatib mengajak diri khatib sendiri dan jamaah sekalian untuk memelihara iman kita, dan teruslah berupaya untuk menjadi seorang mukmin sejati. Semoga upaya kita tersebut terwujud sehingga kita menjadi pribadi yang dicintai Allah dan sesama manusia lainnya. Amiin yaa Rabbal ‘alamiin.
 بَارَكَ اللهُ لي ولَكُم في القُرآن العظيم، وَنَفَعنِي وإيّاكم بِما فِيهِ مِنَ الأياتِ والذّكرِ الحَكيم، وَتَقَبّلَ مِنّي ومِنكُم تِلاوَتَه إنّه جوادٌ كَريمٌ. أقولُ قَولِي هذا فَأسْتغْفِرُ اللهَ لِي ولَكم ولِسائِرِ المسلِمينَ والمُسلماتِ، فَاسْتَغْفِروهُ إنّه هوَ الغَفورُ الرّحِيمُ.#
Selengkapnya.. Share

Makalah Pascasarjana by Hamdee Al Muqaddas Sirruh

Selengkapnya.. Share

Senin, 08 September 2014

Latar Belakang Masalah (untuk makalah) Tentang Ijtihad Imam Abu Hanifah

Ajaran Islam pada dasarnya tidak menempatkan akal sebagai rujukan utama dalam membina syari’at, meskipun semua konsekuensi hukumnya bersifat logis. Namun tidak dapat ditolak bahwa akal memiliki peranan penting dalam istinbath hukum. Karena peranan akal itulah sehingga pada akhirnya melahirkan hasil ijtihad yang berbeda kendati bermula dari sumber yang sama. Ulama fiqih telah sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam, sebagaimana mereka juga sepakat bahwa As-Sunnah adalah sumber kedua hukum Islam.
Ijtihad itu sendiri telah ada sejak masa Rasulullah SAW, bahkan beliau adalah seorang mujtahid. Ijtihad juga dilakukan oleh para Sahabat saat Rasulullah SAW masih hidup, sebagaimana kisah yang telah terkenal tentang Mu’adz bin Jabal yang hendak diutus ke Yaman. Pada masa selanjutnya, ijtihad kian dibutuhkan dan dituntut. Hal ini mengingat semakin banyaknya kejadian dan persoalan yang dihadapi kaum muslimin, di mana tidak ada nash -baik di dalam Al-Qur’an ataupun hadits- yang secara tegas menjawab persoalan- persoalan tersebut. Sehingga banyak bermunculan para mujtahid yang metode ijtihadnya diikuti.
 

Dari sekian banyak mazhab fiqih yang muncul, hanya empat mazhab saja yang tersisa. Masing-masing dari keempat mazhab tersebut memiliki metode yang berbeda dalam berijtihad yang –juga– mengakibatkan pada perbedaan hasil ijtihad. Dan dari keempat mazhab tersebut, mazhab Hanafi merupakan yang tertua, karena pendirinya, Imam Abu Hanifah, lebih dahulu masanya daripada tiga mazhab lainnya. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i berkata:
الناسُ عِيالٌ على أبي حنيفةَ في الفقهِ

Artinya: “Manusia adalah keluarga Abu Hanifah dalam fiqih.”
 

Perbedaan hasil ijtihad tersebut bukan terjadi pada prinsip-prinsip dan pokok-pokok beragama seperti kewajiban beriman kepada Allah, mempercayai bahwa Muhammad SAW adalah rasul-Nya yang terakhir, kewajiban shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, atau semacamnya yang telah ditetapkan melalui nash yang qath’i. Akan tetapi, perbedaan itu terjadi dalam masalah-masalah yang menjadi cabang dari pokok-pokok agama tersebut (furu’iyah). Meskipun hasil ijtihad bukanlah suatu kebenaran mutlak, namun para mujtahid telah berupaya sedemikian keras untuk menetapkannya. Untuk itu, Imam Abu Hanifah berkata:
"هذا أحسنُ ما وصلْنا إليهِ، فَمَن رأَى خيرًا مِنهُ فَليتَّبِعْهُ"
Artinya: “Inilah apa yang terbaik yang kami capai, dan barangsiapa yang melihat yang lebih baik darinya, maka ikutilah.”
Selengkapnya.. Share