Halaman

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Sabtu, 28 Februari 2015

HAJAR ASWAD; BATU YANG JAUH LEBIH MULIA DIBANDINGKAN BATU AKIK

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِلْحَجَرِ: إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ، مِثْلُكَ لَا يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَكَ لَمَا قَبَّلْتُكَ

Hajar Aswad adalah sebuah batu hitam yang berada di sudut tenggara Ka’bah. Batu ini diletakkan dalam sebuah lubang yang dilingkari dengan besi berlapis timah di sudut Ka’bah. Posisi tingginya dari lantai kira-kira 1,5 meter. Dari sudut Hajar Aswad inilah dimulai dan diakhirinya Thawaf. Menurut sejarahnya, batu ini berwarna putih mengkilap ketika diturunkan dari surga, kemudian batu ini semakin menghitam seiring kedurhakaan manusia. Sejarah batu ini sangat panjang sepanjang sejarah Ka’bah itu sendiri.

Hajar Aswad pernah dicuri Abu Thahir Al-Qurmuthy,seorang kepala suku Qaramithah di Bahrain. Ia dan anak buahnya yang berjumlah 700 orang berkendara dan bersenjata pedang mendobrak Masjidil Haram, membongkar Ka’bah secara paksa dan mengambil Hajar Aswad kemudian membawanya ke Hajr, di kawasan Teluk Persia. Peristiwa ini terjadi pada musim haji tahun 317 Hijriyah di masa Khalifah Al-Muqtadir dari Dinasti Abbasiyah. Dikatakan bahwa ia menyaratkan untuk pengambilan batu itu dengan pembayaran sejumlah 50.000 Dinar. Setelah 22 tahun lamanya, yakni pada tahun 339 Hijriyah, batu itu baru dapat dikembalikan lagi ke Mekkah di masa Khalifah Al-Muthi’ Lillah.

Diceritakan bahwa ketika Abdullah bin ‘Akim, utusan Khalifah, menerima batu dari Abu Thahir Al-Qurmuthy, Abdullah berkata, “Batu kami mempunyai dua ciri-ciri, yaitu tidak panas apabila dibakar dan tidak tenggelam dalam air”. Abu Thahir pun menyiapkan air dan api. Kemudian Abdullah memasukkan batu itu ke dalam air dan tenggelam, serta dibakar ternyata panas dan hampir pecah, maka ia pun menolak batu itu dan berkata, “ini bukan batu kami”. Abu Thahir kemudian memberikan batu yang kedua yang sudah dilumuri minyak wangi dan dibungkus dengan kain sutera. Abdullah bin ‘Akim melakukan hal yang sama dengan batu yang pertama, namun hasilnya masih sama. Maka Abdullah meminta batu yang asli. Pada saat menerima batu yang ketiga, ketika dimasukkan ke dalam air batu itu terapung dan ketika dibakar batu itu tidak panas. Abdullah pun berkata, “Inilah batu kami”. Abu Thahir pun kagum dan bertanya tentang bagaimana bisa mengetahui cara ini. Abdullah menjawab, “Fulan bin Fulan menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah yang ada di bumi yang diciptakan dari intan putih di surga. Ia menghitam karena dosa-dosa manusia. Ia akan digiring pada hari kiamat dengan memiliki dua mata yang bisa melihat, lisan yang bisa berbicara dan menyaksikan siapa saja yang pernah menyalami atau menciumnya dengan iman, tidak akan tenggelam dalam air dan tidak akan panas dalam api”. Abu Thahir berkata, “Inilah agama yang dikuatkan dengan riwayat.” 

Sumber: "Al-Wafi bil Wafiyat" karya Shalahuddin Ash-Shafadi, "Makkah Madinah" karya H. Ahmad Junaidi Halim, Lc
Selengkapnya.. Share

Jumat, 23 Januari 2015

Prinsip Pasar Modal Syari’ah


1. Pengertian Pasar Modal Syariah
Pasar modal secara umum dapat diidentikkan dengan sebuah tempat dimana modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan modal (investor) dengan orang yang membutuhkan modal (issuer) untuk mengembangkan investasi. Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 40/DSN-MUI/X/2003 Tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, menyebutkan dalam Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1:
“Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.” 
Sedangkan dalam ayat 3 disebutkan:
“Efek Syariah - efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal - adalah surat berharga yang akad, pengelolaan perusahaannya, maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah.” 

Adapun “efek” menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Bab I Pasal 1 ayat 5 adalah sebagai berikut: 
“Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.”
Pada Bab IV Kriteria dan Jenis Efek Syariah Pasal 4 ayat 1 Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 40/DSN-MUI/X/2003 disebutkan:
“Efek Syariah mencakup Saham Syariah, Obligasi Syariah (shukûk), Reksa Dana Syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.” 
Adapun yang dimaksud dengan “emiten” menurut Fatwa DSN No: 40/DSN-MUI/X/2003 pada Bab I ayat 2 adalah: “Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum.”

2. Ketentuan Pasar Modal Syariah
Secara umum dapat dikatakan bahwa syariah menghendaki kegiatan ekonomi yang halal, baik dari produk yang menjadi obyek, cara pengolahannya, maupun cara penggunaannya. Oleh karena itu, emiten harus memenuhi prinsip syariah. Pembiayaan dan investasi keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Kegiatan usaha dan perdagangan yang sesuai dengan syariah Islam adalah kegiatan yang tidak berkaitan dengan produk atau jasa yang haram, misalnya makanan yang haram, perjudian, dan tempat hiburan yang tidak sesuai prinsip syariah, serta menghindari cara yang haram seperti riba, gharar, dan maisir. 

Yang dimaksud dengan Prinsip Syariah menurut Fatwa DSN-MUI No: 40/DSN-MUI/X/2003 Bab I Pasal 1 ayat 6:
“Prinsip-prinsip Syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI, baik ditetapkan dalam fatwa ini maupun dalam fatwa terkait lainnya.”

Masih dalam Fatwa yang sama pada Bab II Pasal 2 ayat 2 disebutkan:
“Suatu Efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh Pernyataan Kesesuaian Syariah dari DSN-MUI.” 

Sumber:
Dewan Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Erlangga, 2014)
Selengkapnya.. Share