Halaman

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Kamis, 22 Desember 2011

Download Kitab Klasik


  • Download kitab Fathul Mu'in, Zainuddin Al-Malibari klik disini
  • Download kitab Fathul Wahhab, Zakaria Al-Anshari, klik disini 
  • Download kitab I'anah ath-Thalibin, Abu Bakr bin Muhammad Syatho', klik disini
  • Download kitab Asna al-Mathalib, Zakaria Al-Anshari, klik disini   
  • Download kitab Tuhfah ath-Thullab, Zakaria Al-Anshari, klik disini  
  • Download kitab Manaqib Imam Asy-Syafi'i, Fakhruddin Ar-Razi, klik disini 
  • Download kitab Fath al-Qarib, Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, klik disini  
  • Download kitab Qut al-Habib al-Gharib (Tausyih 'ala Fath al-Qarib), Syeikh Nawawi Banten, klik disini 
  •  
Selengkapnya.. Share

Penggunaan Istilah "Kitab Kuning"

Istilah Kitab Kuning (KK) pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada merendahkan (pejorative). Dalam pandangan mereka, ia dianggap sebagai kitab yang berkadar rendah, ketinggalan zaman dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berfikir umat. Pada mulanya sangat menyakitkan memang, tetapi kemudian nama KK diterima sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan.
Meskipun sebagian besar kalangan pesantren sudah bisa menerimanya, namun masih terdapat sebagian yang lain yang mempersoalkan istilah KK tersebut. Kelompok yang terakhir ini mengusulkan istilah lain yang lebih appresiatif untuk menyebut KK, misalnya dengan nama kitab klasik, al-kutub al-qadimah.
Dalam Simposium Nasional I "Kitab Kuning dan Lektur Islam" ICMI di Cisarua Bogor, 25-27 Januari 1994, seorang utusan dari salah satu pesantren di Jakarta, KH. Masyhuri Syahid, MA., misalnya, mengusulkan agar simposium ini dapat membuat rekomendasi untuk mengganti istilah KK dengan istilah yang lebih baik.

________
Dikutip dari buku "Membedah Diskursus Pendidikan Islam" oleh DR. Affandi Mochtar, Penerbit Kalimah, Ciputat, Juni 2001, cetakan ke-1, halaman 36.
Selengkapnya.. Share

TEORI AL-MAWARDI TENTANG IMAMAH (KEPALA NEGARA – Part 3/Habis)

Al-Mawardi dengan tegas menolak pendapat yang membolehkan adanya dua imam atau lebih pada waktu bersamaan. Dalam masalah ini, beliau tampaknya menyimpang dari doktrin Al-Asy’ari yang membolehkan adanya dua imam pada waktu yang bersamaan asal wilayah kekuasaannya terpisah jauh. Pendapat Al-Mawardi ini didasarkan pada argumen keagamaan, sebab bai’ah hanya bisa diberikan kepada satu orang pada satu waktu. Jika kemudian dilakukan bai’ah terhadap orang lain, maka kontrak yang kedua menjadi batal, sebagaimana berlaku dalam pernikahan.

Al-Mawardi juga menyebutkan tugas dan tanggungjawab seorang imam yang meliputi:
1. Menjaga prinsip-prinsip agama yang mapan dan yang menjadi konsensus generasi Islam awal.
2. Melaksanakan hukum (peradilan) di kalangan masyarakat, dan melerai pertengkaran antara dua kelompok bertikai.
3. Memelihara kehidupan perekonomian masyarakat sehingga rakyat memilki rasa aman atas diri dan hartanya.
4. Menegakkan hukuman untuk menjaga hak-hak manusia dari penindasan dan perampasan.
5. Membentengi perbatasan negara untuk mencegah serbuan (serangan) musuh.
6. Melakukan jihad melawan musuh Islam, melalui dakwah agar mereka menjadi muslim atau menjadi ahl adz-dzimmah (non muslim yang tinggal di bawah kekuasaan Islam).
7. Mengumpulkan fai’ (rampasan dari musuh bukan dengan perang) dan zakat.
8. Mengatur kekayaan negara yang ada di bait al-mal, dengan memperhatikan keseimbangan (tidak boros dan tidak pelit, tapi seimbang dan proporsional).
9. Mengikuti nasihat orang yang bijaksana dan menyerahkan urusan pemerintahan dan keuangan kepada orang-orang yang dipercaya.
10. Melakukan pengawasan terhadap urusan-urusan pemerintahan dan mengawasi keadaan, untuk mengatur kehidupan umat dan memelihara agama.

Menurut Al-Mawardi, selama seorang imam mampu melaksanakan tanggungjawab dan kewajibannya dan tetap memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan, maka rakyat wajib memberikan loyalitas dan dukungan terhadap kepemimpinannya. Tetapi, jika imam tidak lagi memenuhi syarat dan tanggungjawabnya, maka sangat dimungkinkan terjadinya pemberhentian imam dari jabatannya. Secara garis besar, dalam teori Al-Mawardi, ada dua penyebab utama gugurnya kontrak antara imam dan rakyat: yaitu, jika imam berlaku tidak adil, dan jika imam mengalami cacat fisik. Jika hal ini terjadi, maka harus dilakukan pemilihan terhadap imam yang baru dengan kontrak yang baru pula.
Sebagai seorang penganut faham Syafi’i, Al-Mawardi menyetujui pemberhentian imam apabila didapati bersalah karena penyelewengan dan ketidakadilan. Selain itu, pemecatan imam juga disebabkan oleh hilangnya kesehatan jasmani dan mental, seperti menjadi gila, buta, dan kedua belah tangan atau kakinya terpotong, atau jika ia ditangkap oleh musuh dan tidak dapat membebaskan dirinya. @#
Selengkapnya.. Share

Senin, 19 Desember 2011

TEORI AL-MAWARDI TENTANG IMAMAH (KEPALA NEGARA – Part 2)

Konsep Al-Mawardi tentang pembentukan lembaga imamah dan pemilihan imam menyerupai konsep “kontrak” yang melibatkan dua pihak, yaitu imam (ahl imamah) dan rakyat atau pemilih (ahl al-ikhtiyar), atau ahl hall wa’l-‘aqd (orang yang mengurai dan mengikat). Ahl hall wa’l-‘aqd ini dapat dipandang sebagai sebuah lembaga yang mewakili aspirasi rakyat pada umumnya. Para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai jumlah anggota ahl hall wa’l-‘aqd. Sebagian berpendapat bahwa imam hanya dapat dipilih oleh mayoritas anggota ahl hall wa’l-‘aqd setiap negeri (bagian) agar dapat diperoleh persetujuan mayoritas rakyat. Tetapi Al-Mawardi mempertanyakan pendapat ini, karena fakta sejarah menunjukkan bahwa peristiwa bai’ah terhadap Abu Bakar sebagai khalifah dapat dilakukan hanya oleh orang-orang di Madinah, tanpa harus menunggu bai’ah dari mereka yang berada di luar Madinah.

Selain metode pemilhan melalui lembaga ahl al-ikhtiyar atau ahl hall wa’l-‘aqd, Al-Mawardi membolehkan pengangkatan atau penunjukan imam oleh imam yang sedang berkuasa tanpa meminta pertimbangan dari ahl al-ikhtiyar, asalkan calon penggantinya bukan ayahnya atau anak laki-lakinya.
Tentang hal ini, ada baiknya dikemukakan pendapat Abu Ya’la[1] yang juga menulis buku berjudul Al-Ahkam Al-Sulthaniyah. Menurut Abu Ya’la, pertimbangan dari ahl hall wa’l-‘aqd tetap diperlukan, karena ia membedakan antara langkah-langkah pencalonan imam dan kontrak (bai’ah) imam. Imam yang sedang berkuasa berhak untuk mengajukan calon penggantinya, tetapi bai’ah tetap menjadi hak ahl hall wa’l-‘aqd pada saat penggantian. Bahkan Abu Ya’la menambahkan bahwa imam tidak boleh menentukan atau mencalonkan ahl al-ikhtiyar yang akan memberikan bai’ah kepada calonnya. Dengan demikian konsep Abu Ya’la mengenai ‘ahd atau istikhlaf tampak menjunjung tinggi peranan penting kehendak rakyat dalam memilih imam, karena dengan demikian rakyat relatif terwakili oleh lembaga ahl hall wa’l-‘aqd.

Menurut Al-Mawardi, seorang imam atau calon imam harus memenuhi tujuh persyaratan, yaitu:
1. Harus memiliki rasa keadilan (‘adalah)
2. Harus mempunyai pengetahuan (‘ilm) yang memadai yang memungkinkannya mampu memutuskan berbagai kasus menurut ijtihadnya
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraannya
4. Sehat tubuh, tidak cacat yang dapat menghambatnya bergerak cepat dalam melaksanakan tugasnya
5. Berwawasan luas sehingga dapat mengurus persoalan orang banyak dan menangani urusan mereka
6. Punya keberanian melindungi wilayah (teritori) Islam dan melaksanakan jihad terhadap musuh
7. Punya garis keturunan dari Quraisy

Kualifikasi terakhir ini tidaklah dipandang sebagai suatu keharusan oleh pemikir-pemikir Sunni setelahnya dan penulis-penulis modern, sebab kualifikasi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan persamaan hak antara sesama muslim tanpa memandang asal-usul atau keturunannya. Bahkan Rasululllah SAW sendiri diakui oleh kaum Sunni tidak pernah menyatakan dengan tegas siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin umat.

__________________________________
[1] Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husein bin Muhammad Al-Farra’ Al-Hanbali (380-458 H). Mengarang sejumlah kitab tentang politik dan administrasi negara. Antara lain, Itsbat Al-Imamah wa Al-Khulafa’ Al-Arba’ah, Al-Amr bi Al-Ma’ruf, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah dan lain-lain. Abu Ya’la adalah juga Qadhi Al-Qudhat kota Baghdad atas penunjukan Khalifah Al-Qaim Bi Amrillah (Muhammad bin Ubaidillah Al-Mahdi), khalifah penerus kekhalifahan Al-Qadir Billah.
Selengkapnya.. Share

Minggu, 18 Desember 2011

TEORI AL-MAWARDI TENTANG IMAMAH (KEPALA NEGARA - Part 1)

Al-Mawardi[1] adalah seorang yuris Sunni yang terkenal. Dia menulis Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah sebagai upaya menegaskan kekuasaan khalifah Abbasiyah melawan para penguasa (amir) dinasti Buwayhiyah yang sangat efektif pengaruhnya dan menghadapi ekspansi pengaruh dinasti Fatimiyah Ismailiyah di Mesir.Karya tersebut dapat dianggap sebagai basis teoritis bagi sebuah "kesepakatan" pembagian wewenang antara khalifah yang menangani urusan keagamaan dan lembaga-lembaga yang dibentuk khalifah yang bertugas menangani urusan pemerintahan.

Al-Mawardi tidak berbicara secara eksplisit tentang negara dalam buku Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah. Beliau juga tidak membicarakan konsep ummah secara jelas. Meski demikian, pandangan Al-Mawardi tentang negara secara tidak langsung dapat diketahui dengan membahas teorinya tentang imamah dan imam. 
Dalam perspektif kontemporer, lembaga imamah tersebut dapat diidentikkan dengan lembaga kepresidenan, sedangkan imam dapat disejajarkan dengan presiden atau kepala negara.. Al-Mawardi memandang imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam negara. Ia juga menyatakan bahwa tugas utama imamah ialah menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al-Mawardi,
الإِماَمَةُ مَوضُوعَةٌ لِخِلافَةِ النُّبُوَّةِ فِي خِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْياَ
Dalam teori Al-Mawardi, pelembagaan imamah dilakukan karena adanya perintah agama, dan bukan karena pertimbangan akal.
Pemilihan imam dilakukan melalui ijma' (konsensus) umat Islam, dan hukumnya adalah wajib. Dengan kata lain, imam dipilih melalui sebuah pemilihan yang dilakukan oleh pemilih yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Teori Al-Mawardi ini jelas bertentangan dengan pendapat Syi'ah yang menyatakan bahwa jabatan imam ditetapkan atas dasar nash (penetapan oleh Tuhan atau Nabi) atau penunjukan langsung oleh imam sebelumnya dari kalangan keluarga ahlul bayt.
Pengangkatan atau pemilihan imam dipandang oleh al-Mawardi sebagai kewajiban sosial atau bersama (fardhu kifayah), seperti kewajiban mencari ilmu pengetahuan, mengajar atau duduk sebagai hakim.
Menurut Al-Mawardi, pemilih atau anggota lembaga pemilih haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai rasa adil ('adalah), punya pengetahuan cukup tentang calon yang akan dipilih dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk jabatan itu, serta punya pikiran sehat dan kebijakan (kearifan) sehingga mampu memilih orang yang terbaik dan paling mampu mengurus kepentingan orang banyak. 

_______________________________________
[1]  Nama lengkap Al-Mawardi adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi al-Bashri Asy-Syafi'i. Dilahirkan di kota Bashrah, Irak pada 364 H/974 M, ketika kebudayaan Islam mencapai masa-masa keemasannya di tangan para khalifah Daulah Abbasiyah. Kota kedua tempat Al-Mawardi belajar, setelah Bashrah, adalah Baghdad. Di sinilah anak penyuling dan penjual air mawar ini belajar. "Mawardi" berasal dari kata ma' (air) dan ward (mawar).
Disamping sebagai penulis yang produktif, Al-Mawardi adalah seorang hakim agung yang berkedudukan di kota Naisabur, diangkat pada tahun 429 H. Jabatan hakim agung (qadhi al-qudhat) tersebut terus dipegang sampai wafatnya pada tahun 450 H. 
Selengkapnya.. Share

Jumat, 16 Desember 2011

QIRA'AH AL-QUR'AN

Oleh: Muhammad Hamdi, SH.I

“Qira’ah” adalah mashdar sama’i dari kata “qara-a” yang berarti bacaan. Secara istilah qira’ah yang dimaksud di sini adalah cara membaca dan mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an yang digunakan oleh para imam qurra’.
Al-Qur'an telah sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Karena itu bacaan syadz (yang tidak bisa dikenal) tidak termasuk Al-Qur’an dan tidak disepakati para qurra'. Adapun bacaan yang mutawatir ialah bacaan imam yang tujuh yang dikenal dengan al-Qurra’ as-Sab’ah, yaitu:


1). Ibnu Katsir (Makkah, wafat 120 H)
2). Nafi' (Madinah, wafat 169 H)
3). Ibnu 'Amir (Syam, wafat 118 H)
4). Abu 'Amr Ibnu Al-'Ala' (Basrah, wafat 157 H)
5). 'Ashim (Kufah, wafat 127 H)
6). Hamzah (Kufah, wafat 156 H)
7). Al-Kisa’i (Kufah, wafat 189 H)


Selain tujuh qurra’ di atas, ada tiga qurra’ lagi yakni Abu Ja’far Al-Madani , Ya’kub Al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam . Sepuluh qurra’ ini disebut al-Qurra’ al-‘Asyrah. Selain qira’ah dari sepuluh imam ini disebut syadz seperti qira’ah-nya Al-Yazidi, Al-Hasan, Al-A’masy dan lain-lain. Jalaluddin Al-Bulqini berpendapat bahwa qira’ah tiga imam disebut dengan ahad.
Menurut Manna’ Al-Qattan bisa saja terdapat bacaan yang syadz pada salah satu qira’ah sepuluh tersebut, karena munculnya pilihan al-Qurra’ as-Sab’ah terjadi pada abad ketiga Hijriyah oleh ulama muta’akhirin, padahal saat itu qurra’ yang memiliki kredibilitas ilmiah lebih banyak dari itu. Dan pada mulanya, Ya’kub Al-Hadhrami termasuk dari al-Qurra’ as-Sab’ah, namun Abu Bakar bin Mujahid[1] menghapus nama Ya’kub dan menetapkan nama Al-Kisa’i.
Pendapat Abu Syamah[2] dalam kitabnya “al-Mursyid al-Wajiz” mungkin bisa menjadi penengah. Menurutnya, yang menjadi i’timad (standar acuan) adalah kriteria bacaannya bukan dari siapa bacaan (qira’ah) itu dinisbatkan. Bacaan yang dinisbatkan dari setiap qari’, baik al-Qurra’ as-Sab’ah ataupun selainnya, diklasifikasikan menjadi al-mujma’ alaih (yang disepakati) dan asy-syadz. Hanya saja, karena popularitas al-Qurra’ as-Sab’ah dan banyaknya riwayat shahih yang disepakati pada qira’ah mereka, sehingga kecenderungan hati untuk memilih salah satu dari mereka lebih besar daripada qari’ lain.
Analogi untuk menentukan qira’ah shahihah (yang benar) adalah sebagai berikut:
a). Qira’ah tersebut sesuai dengan salah satu versi dalam bahasa Arab
b). Qira’ah tersebut sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani meskipun tidak nyata (ihtimal), seperti qira’ah مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ dengan Alif. Dalam seluruh mushaf kata “مَلِك” ditulis tanpa Alif dan dibaca “مَالِك” dengan Alif. Inilah yang dimaksud dengan sesuai secara ihtimal. Contoh lainnya adalah penulisan kata “بَسْطَةً“ dalam surat Al-Baqarah ayat 247 dan kata “بَصْطَةً“ dalam surat Al-A’raaf ayat 69, di mana yang pertama ditulis dengan menggunakan huruf Sin dan yang kedua dengan Shad.
c). Qira’ah tersebut diriwayatkan dengan sanad yang shahih. Karena qira’ah adalah jalan yang harus diikuti maka ia harus berasal dari sumber yang benar dan disampaikan dengan benar pula meskipun lemah menurut tata bahasa. Tidak sedikit dijumpai dalam qira’ah Al-Qur’an kalimat yang berlawanan dengan kaidah tata bahasa (nahwu). Namun selama berdasar sanad yang benar, maka qira’ah tersebut harus diikuti, seperti membaca khafdh/jar kata “وَالْأَرْحَامِ “ pada ayat [3] وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَام.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa qira’ah sab’ah adalah mutawatirah dan tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan selain mutawatir, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Di antara contoh qira’ah yang tidak mutawatirah yaitu qira’ahnya Ibnu ‘Abbas

[4] وكاَنَ أَمامَهُم مَلِكٌ يَأخُذُ كُلَّ سَفِينةٍ صَالِحَةٍ[5] ,   لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسَكُمْ

________________________________________

[1] Qari’ penduduk Irak, wafat 324 H
[2] Abu Syamah bernama asli Abdurrahman bin Ismail Al-Maqdisi Ad-Dimasyqi, seorang mu’arrikh (pakar sejarah) dan muhaddits (pakar hadis). Lahir pada tahun 599 H/1202 M dan wafat pada tahun 665H/1267M di Damaskus. Di antara karyanya adalah kitab Ar-Raudhatain fii Akhbar ad-Daulatain, Al-Mursyid Al-Wajiz dan Tarajim Rijalul Qarnain
[3] Artinya: Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. QS. An-Nisaa’ (4) ayat 1.
[4] QS. At-Taubah (9) ayat 128. Yakni dengan membaca fathah kata “أَنْفُسَكُمْ“. Yang mutawatirah adalah dengan kasrah. 
[5] Qira’ah mutawatirahnya adalah وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا. QS. Al-Kahfi (18) ayat 79


 
Selengkapnya.. Share

Kamis, 15 Desember 2011

HUKUM BERBICARA KETIKA KHUTBAH JUM’AT

Oleh: Muhammad Hamdi, SH.I

A. Landasan
Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ (رواه مسلم)
Artinya: Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau berkata kepada temanmu ‘diamlah!’ di hari Jum’at, dalam keadaan imam sedang khutbah, maka engkau (shalat Jum’atmu) sia-sia”. (HR. Muslim)


B. Penjelasan Hadis
1. Mufrodat Hadis
a. Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim
قَالَ أَهْل اللُّغَة : يُقَال : لَغَا يَلْغُو كَغَزَا يَغْزُو ، وَيُقَال : لَغِيَ يَلْغَى كَعَمِيَ يَعْمَى ، لُغَتَانِ الْأُولَى أَفْصَح ، وَمَعْنَى ( فَقَدْ لَغَوْت ) أَيْ قُلْت اللَّغْو ، وَهُوَ الْكَلَام الْمَلْغِيّ السَّاقِط الْبَاطِل الْمَرْدُود ، وَقِيلَ : مَعْنَاهُ قُلْت غَيْر الصَّوَاب ، وَقِيلَ : تَكَلَّمْت بِمَا لَا يَنْبَغِي .

Menurut ahli bahasa, kata "laghw" berasal dari derivasi لَغَا- يَلْغُو . Maksud dari “فَقَدْ لَغَوْت” dalam hadis di atas adalah “engkau telah berbicara sia-sia (laghw). Laghw adalah ucapan yang sia-sia, gugur, batal dan ditolak. Dikatakan pula maksudnya ialah “kau berbicara tidak benar”.

b. Fathul Baari li Ibni Rajab
واللغو : هو الكلام الباطل المهدر ، الذي لا فائدة فيه. ومنه : لغو اليمين ، وهو مالا يعبأ به ولا ينعقد.

2. Pemahaman Hadis

Dalam hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan untuk diam dan mendengarkan khutbah. Dan shalat Jum’at dinilainya sia-sia (laghw) bagi orang yang mengucapkan “diamlah!” kepada orang lain saat khutbah Jum’at berlangsung, meskipun ucapan tersebut berupa amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Hal demikian menunjukkan bahwa segala bentuk ucapan yang mengalihkan dari mendengarkan khutbah, dikategorikan sebagai laghw. Seseorang hanya diperbolehkan memberi isyarat untuk mendiamkan orang lain.
Tidak ada perbedaan pendapat antara ulama akan kebolehan memberi isyarat, kecuali Thawus[1] , karena isyarat ketika shalat diperbolehkan, terlebih ketika khutbah.
Hukum diam dan mendengarkan khutbah itu sendiri, serta berbicara saat khutbah, terdapat perbedaan pendapat ulama. Pertama, haram hukumnya berbicara saat khutbah. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i –dalam qaul qadim-nya-, Ahmad (menurut riwayat yang masyhur darinya), Al-Auza’i dan mayoritas ulama. ‘Atha dan Mujahid mengatakan bahwa diam saat khutbah wajib hukumnya. Kedua, hukum berbicara saat khutbah adalah makruh. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi'i dalam qaul jadid¬nya dan Ahmad (menurut salah satu riwayat).
Berbicara yang diperbolehkan saat khutbah hanyalah perkataan yang diperbolehkan untuk memutus shalat, seperti mengingatkan orang buta yang akan jatuh ke dalam sumur atau semisalnya.
Ulama sepakat bahwa yang paling utama ketika khutbah adalah diam dan mendengarkannya. Ini lebih utama daripada berzikir dalam hati, membaca Al-Qur’an atau berdo’a.
Adapun menjawab salam (dari pendengar lain) dan mendoakan orang bersin, juga terdapat perbedaan pendapat ulama.
Ulama juga berselisih pendapat jika imam membaca shalawat atas Nabi SAW, apakah ma’mum juga turut membaca shalawat atau tidak? Sebagian mengatakan, ma’mum membaca shalawat dalam hati. Ini adalah pendapat Malik, Abu Yusuf, Ahmad dan Ishaq.
Jika imam membaca surat Al-Ahzab ayat 56 yaitu:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
sebagian Syafi’iyyah (pengikut Asy-Syafi'i) mengatakan boleh bagi ma’mum membaca shalawat dan mengeraskan suaranya. Segolongan lain berpendapat tidak boleh. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Al-Laits bin Sa’d, Malik (dalam satu riwayat) dan Asy-Syafi'i.
_________________________

[1]Abu Abdirrahman Thawus bin Kaisan Al-Yamani Al-Janadi. Seorang Tabi’in yang menjumpai 50 Sahabat. Wafat di Makkah tahun 111 H.
Selengkapnya.. Share

Senin, 14 November 2011

Hukum Orang Kaya Yang Mengaku Miskin Agar Bisa Menerima Zakat

Oleh : Muhammad Hamdi, SH.I
Posted : Monday, 14 Nov 2011 on 23.07


HIBAH itu didorong oleh dua hal. Pertama, karena penerima adalah orang yang membutuhkan. Kedua, karena pemberi hibah bermaksud mencari pahala. Jika memberi kepada orang kaya tanpa maksud mengharap pahala, maka kepemilikan tidak terjadi (batal).

Dalam I’anatut-Thalibin Bab 2 tentang zakat disebutkan bahwa jika ada seseorang yang membayar zakat sebelum waktunya (ta’jil), dan orang faqir penerima zakat itu sudah tidak berhak lagi menerima zakat ketika waktu zakat tadi tiba, maka harta yang telah dizakatkan diambil lagi oleh muzakki.
Memang orang yang mengaku faqir dan miskin bisa dibenarkan tanpa melalui sumpah, hanya saja orang kaya tidak mendapat bagian zakat. (I’anatut-Thalibin juz 2-Bab Zakat, Abu Bakr Syatho)
Jika pemberian diwakilkan kepada orang lain, dan barang diberikan kepada orang yang tidak diizinkan oleh muwakkil, maka penerima barang harus menggantinya (dhaman).
Jika seorang pekerja mengaku belum dibayar (diberi upah) secara bohong, kemudian ia pun diberi upah, maka ia tidak halal baginya untuk menerimanya dan ia tidak bisa memiliki upah tersebut.
Nukilan dari Kitab Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj (Kitabul Hibah), karya Ibnu Hajar Al-Haitami:
( قَوْلُهُ : ؛ لِأَنَّ كَوْنَهُ مُحْتَاجًا إلَخْ ) قَضِيَّتُهُ أَنَّهُ لَوْ انْتَفَى الْأَمْرَانِ بِأَنْ أَعْطَى غَنِيًّا وَلَمْ يَقْصِدْ الثَّوَابَ لَا يَحْصُلُ التَّمْلِيكُ
Redaksi dari I'anatut-Thalibin:
وعبارة الروض وشرحه: متى عجل المالك أو الامام دفع الزكاة، ولم يعلم الفقير أنه تعجيل، لم يسترد، فإن علم ذلك - ولو بقول المالك هذه زكاة معجلة، وحال عليه الحول وقد خرج الفقير أو المالك عن أهلية الزكاة ولو بإتلاف ماله، استرده، أي المعجل، ولو لم يشترط الرجوع للعلم بالتعجيل وقد بطل
Dalam Musnad Ahmad terdapat sebuah riwayat:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ سِمَاكٌ قَالَ حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي هِلَالٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَصْلُحُ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ.#

Selengkapnya.. Share

Minggu, 13 November 2011

Manthuq dan Mafhum

Oleh : Muhammad Hamdi, SH.I
Posted : Sunday, 13 Nov 2011 on 00.37 wib


1). Manthuq
Manthuq adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazh sesuai pada tempat pengucapannya, seperti keharaman ta’fif (berkata “ah”) kepada kedua orang tua yang ditunjukkan oleh ayat (1)فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ . Manthuq terbagi menjadi nash, zhahir, mu’awwal dan mujmal.
Apabila kata tersebut telah jelas dan tidak bisa diarahkan ke arti lain, maka disebut nash, seperti jika kita berkata: “Budi telah datang”, maka kalimat tersebut bisa dipahami bahwa yang datang adalah sosok yang bernama Budi, bukan Andi. Sebagaimana dalam firman Allah:
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ (البقرة :۱٩٦)
Artinya: … maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (QS. Al-Baqarah (2): 196)

Pada ayat di atas, sepuluh hari ditegaskan dengan “kamilah” (yang sempurna). Penegasan ini menghilangkan kemungkinan “sepuluh” diartikan dengan bilangan dibawahnya.(2)
Contoh lain adalah firman Allah:
  مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ (الفتح :۲٩)
Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah. (QS. Al-Fath (48): 29)

Apabila kata tersebut bisa diarahkan ke arti lain yang lemah (marjuh), maka disebut zhahir, seperti kata “الْغَائِط“ bisa diartikan -dengan arti yang kuat- untuk kotoran manusia, dan diartikan pula –dengan arti yang lemah- untuk tempat buang air. Penggunaan kata “الْغَائِط“ untuk arti kotoran manusia ini dinamakan zhahir.
Apabila kata tersebut diarahkan untuk artinya yang lemah, maka disebut mu’awwal. Pada contoh di atas, penggunaan kata “الْغَائِط“ untuk arti tempat buang air dinamakan dengan mu’awwal.(3)
Di antara contoh zhahir adalah firman Allah berikut:
  وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ ( البقرة:٢٢٢)
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. (QS. Al-Baqarah (2) ayat 222).
Pada ayat di atas, thuhr (suci) bisa berarti berhentinya darah haid, bisa juga berarti mandi. Penggunaan kata “thuhr” untuk arti mandi adalah zhahir karena arti itulah yang kuat. Sedangkan “thuhr” diartikan dengan berhentinya darah adalah lemah.(4)
Contoh ta’wil yaitu firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ (المائدة:٦)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu … (QS. Al-Maaidah (5): 6)

Kata “qumtum” diartikan dengan artinya yang lemah “hendak mengerjakan shalat”, meskipun artinya yang kuat adalah “telah mengerjakan shalat”.
Apabila kata itu memiliki arti yang seimbang dengan arti lainnya maka disebut mujmal. Seperti kata “القُرء“ bisa berarti “haid”, bisa pula berarti “suci”. Kedua arti tersebut sama kuat.

2). Mafhum
Mafhum adalah kebalikan dari manthuq, yakni makna yang ditunjukkan oleh lafazh bukan pada tempat pengucapannya. Mafhum terbagi menjadi mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
Apabila makna (hukum) yang terkandung sesuai dengan yang diucapkan (manthuq), maka disebut mafhum muwafaqah. Selanjutnya mafhum muwafaqah terbagi lagi menjadi fahwal khitab dan lahnul khitab.
Apabila hukum yang terkandung lebih besar dari yang diucapkan, maka disebut fahwal khithab, seperti keharaman memukul orang tua yang terkandung dalam
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ (الإسراء:۲۳)
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah". (QS. Al-Israa’ (17): 23)
Keharaman memukul orang tua lebih dari keharaman mengatakan “ah” yang diucapkan pada ayat di atas, karena memukul lebih menyakitkan daripada mengatakan “ah”.
Apabila hukum yang terkandung sama dengan yang diucapkan, maka disebut lahnul khithab, seperti keharaman membakar harta anak yatim yang tercakup dalam
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا (النساء:۱۰)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya. (QS. An-Nisaa’ (4): 10)
Keharaman membakar harta anak yatim sama dengan memakannya, karena keduanya sama merusaknya.

Sedangkan mafhum mukhlalafah adalah makna (hukum) yang tidak sesuai dengan yang diucapkan, seperti pada ayat
  إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (الحجرات : ٦)
Artinya: Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti. (QS. Al-Hujurat (49): 6)
Dari kata “fasiq” di atas dipahami bahwa jika yang datang adalah orang yang tidak fasik, maka informasi yang dia bawa tidak wajib diteliti.
Contoh lain adalah firman Allah berikut:
  وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ (الطلاق: ٦ )
Artinya: Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya. (QS. Ath-Thalaq (65): 6)
Berarti apabila isteri yang ditalak itu tidak hamil, maka tidak wajib memberi nafkah.(5)
###

(1) Artinya: maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (QS. Al-Israa’ (17): 23)
(2) Manna’ Khalil Al-Qattan, “Mabahits fii Ulumil Qur’an”, Maktabah Wahbah, Kairo, tt., cet. ke-7, hal. 242. 
(3) Jalaluddin Al-Mahalli, “Syarh Jam’u al-Jawami’”, software “Al-Maktabah Asy-Syamilah versi 2.11”, Al-Meshkat, 2006 
(4)Op. Cit., hal. 243
(5) Manna’ Khalil Al-Qattan, “Mabahits fii Ulumil Qur’an”, Maktabah Wahbah, Kairo, tt., cet. ke-7, hal. 245-246

Selengkapnya.. Share

Sabtu, 12 November 2011

Pengaruh Cinta Terhadap Perubahan Jiwa

Ada dua cara untuk mengubah tingkah laku seseorang atau mengubah akidahnya, yaitu:
Pertama, nasihat dan kritik. Kedua, cinta. Inilah cara yang memiliki pengaruh perubahan permanen. Dapat kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menanamkan rasa cinta dan terus memupuknya ketika dia masih berada di Mekkah ataupun ketika merintis negara di Madinah. Hasilnya, beliau dapat mengubah seluruh jazirah Arab.
Cinta adalah senjata yang paling utama dalam mengupayakan sebuah perubahan akidah manusia serta tingkah lakunya.
Sesungguhnya cinta dapat menjadi solusi dari sekian banyak permasalahan.
Berikut ini beberapa kisah pada masa Sahabat tentang cinta yang telah menyebabkan perubahan jiwa dan akidah.

    Kisah Cinta Zainab
Abul ‘Ash, suami Zainab binti Rasulillah SAW, keluar dari Mekkah. Ia melarikan diri dari Islam. Zainab pun mencari dan menyusulnya agar dia kembali ke Mekkah dan masuk Islam. Abul ‘Ash lalu mengirim surat yang isinya sebagai berikut:
Demi Tuhan, tidaklah ayahmu tersangka bagiku. Yang aku inginkan tiada lain adalah agar engkau berjalan sejalan denganku, wahai kekasihku. Dalam bangsa yang satu. Aku tidak suka jika dikatakan padamu, “Suamimu mendustai kaumnya.” Apakah engkau tidak memaafkan dan memaklumiku?
Menilik surat itu, jelas diketahui bahwa Abul ‘Ash mencintai Zainab. Ia ingin isterinya sejalan bersama, apa pun jalannya. Abul ‘Ash juga tidak suka jika ada yang mengatakan pada Zainab hal-hal yang mungkin akan membuat isterinya itu bersedih. Di akhir suratnya, dia meminta maaf dan pemakluman pada Zainab.
Karena dorongan cinta semacam itu, Zainab akhirnya menyusul Abul ‘Ash. Belakangan ia berhasil membawa suaminya ke dalam pangkuan Islam.

  • Kisah Thufail bin Umar ad-Dausy
Thufail bin Umar ad-Dausy telah masuk Islam. Datanglah isterinya. Namun Thufail mencegahnya seraya berkata, “Engkau telah haram bagiku.”Isterinya heran, “Mengapa?”
“Aku telah memeluk Islam.”
“Aku adalah bagian dari dirimu, dan engkau adalah bagian dari diriku, dan agamaku adalah agamamu,” kata isterinya.
Sang isteri akhirnya memeluk Islam.
Jawaban ini menunjukkan bahwa perempuan ini sangat mencintai Thufail. Hal itu tercermin dari perkataannya, “Aku adalah bagian dari dirimu, dan engkau adalah bagian dari diriku.”
Atas dasar cinta pula ia akhirnya memeluk Islam, dengan berkata, “ ... dan agamaku adalah agamamu.”

  • Kisah Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam
Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam ra. telah memeluk Islam ketika penaklukan Mekkah. Sementara suaminya, ‘Ikrimah bin Abu Jahal, justru melarikan diri dari Islam hingga sampai di Yaman.
Ummu Hakim pun menyusul ke Yaman, menemui suami dan mengajaknya memeluk Islam. Akhirnya ‘Ikrimah pun memeluk Islam dan menghadap Rasulullah SAW sebagai seorang muslim.#

Dikutip oleh Muhammad Hamdi dari buku “Menelusuri Kamar-Kamar Rasulullah”.
Selengkapnya.. Share

Asbabun Nuzul

Oleh : Muhammad Hamdi, SH.I
Sabtu, 12 November 2011

Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalh-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian sekarang, serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah.
Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah. Maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.

1. Definisi Sebab Turun
Setelah diselidiki, sebab turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1). Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Qur’an mengenai peristiwa itu. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang mengatakan: “Ketika turun: وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ (QS. Asy-Syu’ara: 214), Nabi pergi dan naik ke bukit Safa, lalu berseru: ‘Wahai kaumku!’ Maka mereka berkumpul ke dekat Nabi. Beliau berkata lagi: ‘Bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa di balik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu, percayakah kamu apa yang kukatakan?’ Mereka menjawab: ‘Kami belum pernah melihat engkau berdusta’. Dan Nabi melanjutkan: ‘Aku memperingatkan kamu tentang siksa yang pedih’. Ketika itu Abu Lahab lalu berkata: ‘Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?’ Lalu ia berdiri. Maka turunlah surat
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (QS. Al-Masad (111)).
2). Bila Rasulullah ditanya tentang suatu hal, maka turunlah ayat Qur’an menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah binti Sa’labah dikenakan zihar oleh suaminya, Aus bin Shamit. Lalu ia datang kepada Rasulullah mengadukan hal itu. Aisyah berkata: “Mahasuci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan Khaulah binti Sa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Katanya: ‘Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu”’. Aisyah berkata: “Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat-ayat ini:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا (المجادلة: ۱)
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya”. (QS. Al-Mujadilah: 1). Yakni Aus bin Shamit.

Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat Qur’an diturunkan karena timbul suatu peristiwa, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada di antara ayat Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, seperti ayat mengenai akidah, kewajiban Islam dan syari’at Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial.

2. Faedah Mengetahui Sebab Turun
Pengetahuan mengenai asbabun nuzul mempunyai banyak faedah, di antara yang terpenting adalah:
a. Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya kepada umat.
b. Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat bahwa “yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus dan bukannya lafal yang umum”. Masalah ini sebenarnya merupakan masalah khilafiah.
c. Mengetahui sebab turun adalah cara terbaik untuk memahami makna Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab turunnya.

3. Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka sangat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan jelas.

4. Banyaknya Nuzul dengan Satu Sebab
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ لاَ أَسْمَعُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ذَكَرَ النِّسَاءَ فِى الْهِجْرَةِ بِشَىْءٍ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ (فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ) الآيَةَ.
Artinya: “Wahai Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan : Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman) : ‘Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan; (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain …’” (QS. Ali Imran ayat 195).
Diriwayatkan pula dari Ummu Salamah yang mengatakan:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَنَا لَا نُذْكَرُ فِي الْقُرْآنِ كَمَا يُذْكَرُ الرِّجَالُ قَالَتْ فَلَمْ يَرُعْنِي مِنْهُ يَوْمًا إِلَّا وَنِدَاؤُهُ عَلَى الْمِنْبَرِ وهُوَ يَقُولُ ( إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ)
Artinya: “Aku telah bertanya: Rasulullah, mengapa kami tidak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti kaum laki-laki? Maka pada suatu hari aku dikejutkan oleh seruan Rasulullah di atas mimbar. Ia membacakan: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim dan laki-laki dan perempuan mu’min… sampai akhir ayat (QS. Al-Ahzab ayat 35).
Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan:
يَغْزُو الرِّجَالُ وَلَا تَغْزُو النِّسَاءُ وَإِنَّمَا لَنَا نِصْفُ الْمِيرَاثِ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى (وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ) وَأَنْزَلَ (إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ)
Artinya: “Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Di samping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian? Maka Allah menurunkan ayat: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain… (QS. An-Nisa’ ayat 32), dan ayat: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim…”

Ketiga ayat tersebut turun karena satu sebab.

5. Beberapa Ayat Turun Mengenai Satu Orang
Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih dari satu kali, dan Al-Qur’an pun turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu banyak ayat yang turun mengenai sahabat tersebut sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi.
Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab “Al-Adabul Mufrad” tentang berbakti kepada kedua orang tua. Dari Sa’d bin Abi Waqqash yang mengatakan: “Ada empat ayat Al-Qur’an turun berkenaan denganku. Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah menurunkan : Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (Luqman [31]: 15). Kedua ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada Rasulullah: ‘Rasulullah, berikanlah kepadaku pedang ini.’ Maka turunlah: Mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang (Al-Anfal [8]: 1). Ketiga, ketika aku sedang sakit Rasulullah mengunjungiku, aku bertanya kepadanya: ‘Rasulullah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Aku bertanya: ‘Bagaimana kalau sepertiga?’ Rasulullah diam. Maka wasiat dengan sepertiga harta itu diperbolehkan. Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khamr) bersama kaum Anshar, seorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang unta. Lalu aku datang kepada Rasulullah, maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan larangan minum khamr.
Selengkapnya.. Share

Keutamaan Menuntut Ilmu

Oleh: Muhammad Hamdi, SH.I

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ رَفَعَ أَهْلَ الْعِلْمِ دَرَجَاتٍ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ أَشْرَفِ الْمَخْلُوْقَاتِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ ذَوِي الْفَضَائِلِ بِمُشَاهَدَةِ التَّنْزيَلاَتِ مِنَ الآيَاتِ.

Ketika Allah menciptakan manusia, yakni Adam, Allah menginformasikan kepada para malaikat bahwa Dia menjadikan Adam sebagai khalifah di bumi. Para malaikat pun “protes” atas keputusan Allah ini dengan argumen bahwa merekalah yang senantiasa mensucikan dan memuji Allah.
Kemudian Allah “menyingkap” hikmah atas terpilihnya Adam sebagai khalifah(1), sebagaimana yang kita pahami dari Surat Al-Baqarah ayat 31 berikut:
وَعَلَّمَ آَدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” (QS. Al-Baqarah: 31)

Keutamaan Adam atas malaikat tersebut adalah bahwasanya Allah memberikan pengetahuan nama-nama benda kepada Adam, kemudian mengemukakannya di hadapan malaikat untuk menampakkan keterbatasan pengetahuan malaikat. Sehingga pengetahuan atau ilmu menjadi nilai utama atas terpilihnya manusia –dalam hal ini Adam– sebagai khalifah bumi.

Adapun ilmu itu sendiri merupakan anugerah cahaya yang Allah hujamkan ke hati orang-orang yang Dia kehendaki, yaitu mereka yang mau berusaha mencarinya dengan cara belajar. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
Artinya: “Ilmu hanyalah (diperoleh) dengan belajar.” (HR. Ath-Thabarani)

Karena pentingnya belajar ini, sehingga Rasulullah SAW mewajibkannya atas setiap muslim. Sabda Nabi SAW:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)


Melihat kenyataan pada masyarakat sekitar kita, sepertinya keterbelakangan pengetahuan dan pendidikan masih dialami oleh banyak saudara kita yang muslim. Beragam alasan bisa kita dapatkan. Kesulitan ekonomi, mahalnya biaya pendidikan, jauhnya tempat belajar, atau tiadanya tenaga pengajar dan pendidik mungkin menjadi alasan-alasan yang utama. Kita tentu tidak bermaksud menyalahkan siapapun. Namun perlu untuk kita tegaskan kembali kepada semua pihak akan kewajiban menuntut ilmu ini.
Jika seorang penguasa atau pemimpin menyadarinya, diharapkan dengan kekuasaan dan kekuatan yang ia miliki, ia akan memfasilitasi orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya untuk dapat belajar dengan layak. Dan itu adalah kewajibannya. Dan jika seorang rakyat biasa menyadari akan kewajiban dan pentingnya menuntut ilmu, niscaya ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar dari setiap kendala yang ia hadapi dalam menuntut ilmu.
Tidak semua ilmu atau pengetahuan wajib kita pelajari. Setidaknya, setiap ibadah yang wajib kita lakukan, wajib pula untuk mengetahui cara melakukannya. Seperti shalat dan puasa, maka kita wajib mempelajari caranya. Begitu juga zakat, jika kita termasuk orang yang wajib zakat, maka wajib juga bagi kita mempelajarinya. Dan haji, jika haji adalah kewajiban kita.
Seorang mukmin juga wajib mempelajari segala yang harus ia tinggalkan. Yakni ia harus mengetahui bentuk-bentuk maksiat, sehingga ia tidak terjerumus melakukannya.
Sementara itu, keutamaan ilmu itu sendiri sangat banyak. Ayat Al-Qur’an ataupun hadis Nabi SAW yang menggambarkan keutamaan ilmu juga tidak sedikit. Di antaranya adalah firman Allah SWT:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (المجادلة : ۱۱)
Artinya: “ … Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)

Salah seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas mengatakan: “pada ulama terdapat derajat di atas orang-orang mukmin setinggi tujuh ratus derajat. Jarak antara setiap dua derajat adalah perjalanan lima ratus tahun.”

Di antara sabda Nabi SAW, seperti yang dikutip Imam Al-Ghazali adalah:
اَلْإِمَانُ عُرْيَانُ وَلِبَاسُهُ التَّقْوَى وَزِيْنَتُهُ الْحَيَاءُ وَثَمْرَتُهُ الْعِلْمُ
Artinya: “Iman itu telanjang, dan pakaiannya adalah takwa, hiasannya adalah rasa malu, dan hasilnya adalah ilmu.”

Jika tubuh kita membutuhkan makanan dan minuman sebagai kekuatannya, maka demikian juga dengan hati kita membutuhkan ilmu dan hikmah sebagai kekuatannya.
Seorang yang tidak memiliki ilmu maka hatinya akan sakit kemudian mati. Namun ia tidak akan merasakannya, karena kesibukan dunia merusak indera batinnya. Ketika hatinya mulai terbuka, ia akan menemui bahwa hatinya telah mati, ketika itu pula ia baru akan menyesalinya.
Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa ilmu lebih baik daripada harta karena ilmu menjaga kita, sedangkan harta dijaga oleh kita. Harta akan berkurang jika di-infaq-kan, sedangkan ilmu bertambah dengan di-infaq-kan. Selain itu, harta bisa dicuri dan kekuasaan bisa dicopot. Sedangkan ilmu tidak bisa dijangkau oleh tangan pencuri dan tidak bisa dicopot oleh penguasa. Sehingga para pemilik ilmu selalu merasa aman, sedangkan pemilik harta dan kekuasaan berada dalam kecemasan akan kehilangan harta atau kekuasaannya.
Ali juga mengatakan bahwa orang yang berilmu lebih utama daripada orang yang puasa dan bangun malam.

Ibnu Abbas berkata: “Nabi Sulaiman bin Daud a.s dihadapkan pada pilihan antara ilmu, harta dan kekuasaan (kerajaan). Lalu beliau memilih ilmu, maka harta dan kerajaan turut diberikan.”
Terkadang orang yang sudah tua merasa malu untuk menuntut ilmu, atau anak-anak kecil menundanya di kemudian hari untuk ia lakukan jika ia sudah besar nanti. Sungguh, ini adalah alasan yang muncul karena kemalasan.
Dikisahkan bahwa ada seorang ahli hikmah melihat orang tua yang senang akan ilmu tetapi ia malu. Maka sang ahli hikmah tersebut menegur: “apakah anda malu seandainya akhir usia anda lebih utama daripada permulaan anda dahulu.”
Khalifah Al-Ma’mun berkata: “Demi Allah, anda meninggal dunia dalam keadaan menuntut ilmu itu lebih utama daripada anda meninggal dunia dalam keadaan menerima kebodohan (dalam diri anda).”
Ja’far As-Shadiq, cucu Rasulullah SAW, memilki murid yang berusia 94 tahun bernama 'Unwan.

Terkadang faktor kesibukan dengan pekerjaan dijadikan dalih oleh sebagian orang untuk tidak menuntut ilmu. Padahal bagaimanapun sibuknya seseorang, ada waktu luang atau masa untuk istirahat bahkan ada hari libur. Karena siapapun yang menggunakan seluruh waktunya hanya untuk bekerja, maka ia termasuk hamba dunia.
Ada juga sejumlah orang yang beranggapan bahwa ilmu itu berat untuk ia pelajari, sehingga ia takut tidak mampu memahami atau menguasainya. Ini adalah anggapan orang-orang yang lemah dan penakut. Karena sekalipun tingkat kecerdasan dan daya ingat manusia itu berbeda, namun jangan pernah putus asa meski hanya untuk meraih sesuatu yang sedikit. Tentu yang sedikit itu lebih baik daripada yang tidak ada sama sekali.
Air dengan kelembutannya mampu melubangi kerasnya batu jika diteteskan secara terus-menerus. Begitu pula ilmu, akan mampu masuk ke dalam hati yang keras sekalipun jika senantiasa dihujamkan. Nabi SAW bersabda:
إنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ
Artinya: “Sesungguhnya malaikat akan meletakkan sayapnya untuk pencari ilmu, karena ridha terhadap apa yang ia cari.”
Segeralah mencari ilmu sebelum kehilangan kesempatan. Rasulullah SAW bersabda:
تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يُرْفَعَ ، وَرَفْعُهُ ذَهَابُ أَهْلِهِ .فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي مَتَى يَحْتَاجُ إلَيْهِ أَوْ مَتَى يَحْتَاجُ إلَى مَا عِنْدَهُ
Artinya: Pelajarilah ilmu sebelum ilmu itu diangkat (hilang). Hilangnya ilmu adalah dengan perginya sang pemilik ilmu. Sesungguhnya salah satu dari kalian tidak tahu kapan ia butuh ilmu atau kapan ia butuh terhadap sesuatu yang berada disisinya.

(1)Khalifah secara bahasa berarti pengganti. Menurut Ibnu Mas’ud, dinamakan khalifah karena manusia merupakan pengganti Allah dalam pemberian keputusan (hukum) kepada makhluk-Nya yang mukallaf.
Selengkapnya.. Share

Jumat, 11 November 2011

Tafsir Ayat Tentang Risalah

Oleh : Muhammad Hamdi, SH.I

QS. Al-Baqarah (2) : 213
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya: Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Ulama berbeda pandangan mengenai arti kata An-Naas (النَّاسُ) dan Ummah (أُمَّة) dalam ayat di atas. Sebagian berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang pada masa antara Nabi Adam dan Nabi Nuh. Mereka terdiri dari sepuluh generasi. Pendapat ini diperkuat dengan adanya sebuah riwayat bahwa Ibnu Abbas mengatakan: “Antara Adam dan Nuh terdapat sepuluh generasi. Seluruhnya berada dalam syari’at yang benar, kemudian mereka berselisih. Maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan” . Menurut Qatadah , Nabi Nuh adalah Nabi yang diutus pertama kali .
Berdasarkan pendapat ini, maka ta’wil dari kata “ummah” adalah “agama”. Sehingga tafsir dari ayat di atas adalah : “Manusia itu berada dalam satu agama, kemudian mereka berselisih. Maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi peringatan”.
Kata “ummah” pada mulanya berarti sekelompok manusia yang terkumpul dalam suatu agama yang sama. Kemudian cukuplah digunakan kata “ummah” dalam ayat ini untuk menunjukkan arti “agama”.
Pendapat lain mengemukakan bahwa ta’wil dari kata “ummah” adalah pemimpin dalam taat kepada Allah, yang mengajak meng-Esa-kan-Nya dan mematuhi perintah-Nya. Pendapat ini mendasarkan kepada firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 120:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا
Artinya : “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif …” (QS. An-Nahl (16): 120)

Yang dimaksud “ummah” dalam ayat ini adalah pemimpin dalam kebaikan yang diteladani dan diikuti. Sementara itu, Adam merupakan pemimpin kebaikan bagi keluarganya. Sehingga “ummah” yang dimaksud dalam Surat Al-Baqarah di atas adalah Adam.
Tentang kata “ummah” dalam Surat Al-Baqarah tersebut, Mujahid berkata: “Adam”. Selanjutnya beliau menambahkan: “Terdapat sepuluh nabi antara Adam dan Nuh. Adam adalah ‘ummah’ itu sendiri”.
Dalam Tafsir Ruhul Ma’ani disebutkan bahwa كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً ialah seluruh manusia sepakat akan tauhid dan mengakui kehambaan ketika Allah mengambil janji kepada mereka. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b.
Atau النَّاسُ adalah mereka pada masa antara Adam a.s dan Idris a.s kecuali sedikit golongan dari Qabil dan pengikut-pengikutnya. Atau النَّاسُ adalah orang-orang pada masa antara Adam a.s dan Nuh a.s sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Atau kata النَّاسُ juga bisa dimaksudkan untuk orang-orang setelah banjir besar masa Nabi Nuh a.s., karena setelah banjir besar tersebut tidak menyisakan kecuali hanya 80 orang laki-laki dan perempuan. Kemudian mereka meninggal dunia kecuali Nuh dan anak-anaknya yaitu Sam, Ham dan Yafats serta isteri-isteri mereka. Semuanya berada dalam agama Nuh a.s.
Dari keempat tafsiran النَّاسُ di atas, alif lam (ال) pada kata النَّاسُ menurut versi pertama dan keempat berfaedah istighraq haqiqi (mencakup semua manusia tanpa terkecuali).

Dikatakan كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً ialah bahwa manusia sepakat atas kebodohan dan kekafiran dengan berdasar riwayat yang dikeluarkan Ibn Abi Hatim dari Ibnu Abbas bahwa mereka semua kafir setelah diangkatnya Idris a.s sampai dengan diutusnya Nuh a.s atau setelah wafatnya Nuh a.s hingga diutusnya Hud a.s.
(فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ ) potongan ayat ini menyimpan kata فَاخْتَلَفُوا yang dibuang. Seperti qira’ah Ibnu Mas’ud فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ فَاخْتَلَفُوا
( مُبَشِّرِينَ) kepada orang yang beriman dengan pahala. (Tafsir Al-Alusi)
(وَمُنْذِرِينَ ) kepada orang kafir dengan azab. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ditanya “Berapakah para nabi?” Beliau menjawab: “Seratus dua puluh empat ribu”. (Tafsir Al-Alusi).
Kata مُبَشِّرِينَ didahulukan atas kata مُنْذِرِينَ. Karena kata مُبَشِّرِينَ ibarat menjaga kesehatan, sedangkan مُنْذِرِينَ ibarat mengobati sakit. Maka menjaga kesehatan didahulukan daripada mengobati sakit.

(وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ) Setiap nabi mengambil hukum dari kitab, adakalanya dari kitab yang diturunkan khusus untuk salah satu nabi atau dari kitab yang diturunkan untuk nabi sebelumnya.
Menurut pendapat yang masyhur seluruh kitab yang diturunkan berjumlah 104 kitab, dengan perincian 10 kitab untuk Adam as.s, Syits a.s 30 kitab, Idris a.s 50 kitab, Musa a.s sebelum Taurat 10 kitab, dan Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an.
Ath-Thabari dalam tafsirnya mengemukakan bahwa الْكِتَاب adalah Taurat.

(بِالْحَقِّ) keterangan dari kata أَنْزَلَ.
(لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ) Kitab sebagai hakim (penentu keputusan). Karena setiap keputusan yang dibuat oleh para nabi dan rasul adalah sesuai dengan petunjuk dalam kitab.
(فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ) Dhamir ha dalam kata فِيهِ bisa untuk kata الْحَقِّ, bisa pula untuk kata الْكِتَاب. Namun kembalinya dhamir ha untuk kata الْحَقِّ lebih diutamakan. Karena ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah menurunkan kitab sebagai hakim terhadap sesuatu yang mereka perselisihkan. Kitab disebut hakim, dan masalah yang diperselisihkan disebut mahkum ‘alaih. Maka hakim harus membuat perubahan terhadap mahkum ‘alaih. 

(إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ) yaitu orang-orang Yahudi dari Bani Israil. Karena merekalah yang diturunkan Taurat dan mereka mengetahuinya.
(وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ) Dhamir ha dalam kata فِيهِ kembali untuk kata الْحَقِّ, dan dhamir ha dalam kata أُوتُوهُ kembali untuk الْكِتَاب. Kemudian yang dimaksud perselisihan bisa jadi adalah pengkafiran suatu golongan terhadap golongan lain atau perubahan yang mereka lakukan terhadap kitab.
(الْبَيِّنَاتُ) Hujjah-hujah (argumen-argumen) dan dalil-dalil dari Allah bahwa kitab yang mereka perselisihkan berikut hukum-hukum yang ada di dalamnya adalah benar dari Allah yang tidak untuk diperselisihkan lagi.
(بِإِذْنِهِ) dengan kehendak-Nya.
(صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ) Agama yang tegak yang dirihai-Nya.


An-Nahl (16): 36
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Artinya: Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya . Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).

(فِي كُلِّ أُمَّةٍ) setiap umat (kaum) yang telah lalu sebagaimana Kami mengutus kepada kalian.
(وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ) tinggalkan menyembah berhala. Dikatakan pula “thaghut” adalah syaitan atau tukang tenung.
(فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ) Maknanya, meskipun Allah memerintahkan seluruhnya untuk beriman dan melarang kekafiran, hanya saja Allah memberi petunjuk (hidayah) kepada sebagiannya dan menyesatkan sebagian yang lain. Hal demikian merupakan sunnatullah.
(فَسِيرُوا) bepergianlah
(فَانْظُرُوا) pelajarilah
(كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ) Bagaimana Allah mengakhiri mereka yang mendustakan para rasul. Dengan memperhatikan dan mempelajari hal itu, kalian akan mengetahui bahwa berita yang disampaikan Muhammad SAW adalah benar.




Al-Hadid (57) : 27
ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَى آَثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَآَتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآَتَيْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Artinya: Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.

(ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَى آَثَارِهِمْ) Kami sertakan setelah Nuh dan Ibrahim dalam keluarga keduanya
(وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ) Kami utus satu rasul setelah satu rasul yang lain, sehingga berakhir pada Isa bin Maryam.
(وَآَتَيْنَاهُ) Kami wahyukan
(الْإِنْجِيلَ) Bukan injil yang berada di tangan orang-orang Nasrani sekarang yang mengandung kisah kelahiran dan penyaliban Isa a.s
(الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ) orang-orang yang mengikuti Isa a.s.
(رَأْفَةً) kasih sayang yang sangat
(وَرَحْمَةً) yang dengannya satu sama lain saling menyayangi
(وَرَهْبَانِيَّةً) menyepi ke dalam gua-gua yang berada di gunung untuk beribadah dan melepaskan diri dari wanita-wanita.
(ابْتَدَعُوهَا) mereka membuat-buatnya.
(مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ) Kami tidak mem-fardhukan kepada mereka
(إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ) tetapi mereka mengada-adakan rahbaniyah hanya untuk mencari ridha Allah.
(فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا) Mereka yang mengada-adakan rahbaniyah tidak memelihara rahbaniyah tersebut dengan sebenar-benarnya.
(فَآَتَيْنَا)Kami berikan
(الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ ) para pendeta (Ruhban)
(أَجْرَهُمْ) pahala mereka sebanyak dua kali, sebab iman dan ibadah. Mereka adalah orang-orang yang tidak menyalahi agama Isa bin Maryam a.s. Mereka berjumlah 24 orang dari penduduk Yaman yang datang menemui Nabi Muhammad SAW lalu menyatakan beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan masuk ke dalam agamanya.
(وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ) kebanyakan para pendeta itu.
(فَاسِقُونَ) mereka kafir, yakni mereka yang menyalahi agama Isa a.s.


Saba (34) : 28
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.

(وَمَا أَرْسَلْنَاكَ) Wahai Muhammad, Kami tidak mengutusmu hanya untuk orang-orang musyrik dari kaummu saja.
(إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ) Akan tetapi Kami mengutusmu untuk seluruh manusia, baik Arab ataupun Non Arab, berkulit merah ataupun hitam.
Kata كَافَّةً (kaffah) bisa juga merupakan isim fa’il dari kata كَفَّ (kaffa) yang berarti mencegah, dan huruf Ta’ marbuthah bermakna mubalaghah (sangat/banyak). Sehingga makna dari potongan ayat itu adalah: Wahai Muhammad, Kami tidak mengutusmu kecuali untuk mencegah manusia dari kekufuran dan maksiat.
(بَشِيرًا) dengan surga kepada orang yang mentaatimu
(وَنَذِيرًا) dengan neraka kepada orang yang mendustakanmu
(وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ) Penduduk Mekkah
(لَا يَعْلَمُونَ) Tidak mengetahui hal itu dan tidak mempercayainya.


Asy-Syu'ara (26): 51-52
إِنَّا نَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَنْ كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ (٥١) وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي إِنَّكُمْ مُتَّبَعُونَ (٥٢)
Artinya: Sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman. Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: "Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), karena sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli.

(إِنَّا نَطْمَعُ) Kami (para ahli sihir Fir’aun) mengharapkan
(خَطَايَانَا) kesalahan-kesalahan kami berupa sihir dan kekafiran
(أَنْ كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ) kami adalah orang-orang yang pertama beriman kepada Musa, mempercayai ajaran yang dibawa olehnya berupa tauhid (meng-esakan) Allah, dan kami mengingkari Fir’aun dalam pengakuannya sebagai tuhan.
(وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي) dari tanah Mesir. Hal itu setelah bertahun-tahun tinggal bersama Fir’aun dan kaumnya untuk mengajak kepada yang benar. Namun mereka tidak beriman bahkan semakin keras hati dan membuat kerusakan.
(إِنَّكُمْ مُتَّبَعُونَ) Sesungguhnya Fir’aun dan bala tentaranya akan mengikutimu, wahai Musa dan kaummu, Bani Israil.


Al-Maidah (5) : 48
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

(وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ) wahai Muhammad
(الْكِتَابَ) Al-Qur’an
(بِالْحَقِّ) dengan benar, yang tidak ada kebohongan di dalamnya dan tidak ada keraguan bahwa Al-Qur’an berasal dari Allah.
(مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ) Kami menurunkannya dengan membenarkan kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya
(وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ) Menjadi saksi atas kebenaran kitab-kitab sebelumnya, mempercayainya dan melindunginya.
Kata مُهَيْمِنًا berasal dari kata الهيمنة (al-haymanah) yang makna aslinya adalah menjaga dan mengawasi.
(فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ) Wahai Muhammad, putuskanlah antara Ahli Kitab dan orang-orang musyrik dengan kitab dan hukum-hukum-Ku yang diturunkan kepadamu dalam setiap masalah yang diadukan kepadamu.
(وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ) Janganlah mengikuti hawa nafsu orang-orang Yahudi yang berkata : “Jika kita diberikan hukum cambuk karena zina muhshan bukan hukum rajam, dan orang yang terhormat tidak dihukum bunuh akibat membunuh orang rendahan, maka ambillah. Jika tidak diberikan, maka tinggalkan!”.
(عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ) dari kitab yang diturunkan Allah
(لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ) wahai manusia.
(شِرْعَةً) syari’at. Arti syari’at adalah jalan menuju ke air. Kemudian kata ini dipinjam untuk arti “agama” (ad-diin) karena agama adalah jalan menuju kepada kehidupan yang abadi.
(وَمِنْهَاجًا) jalan yang jelas dalam beragama.
Ayat ini dijadikan sebagai dalil bahwa kita tidak beribadah menggunakan syari’at umat-umat dahulu.
(وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً) Kelompok yang sepakat atas satu agama di seluruh masa tanpa ada perubahan dan penghapusan.
Obyek (maf’ul bih) dari kata وَلَوْ شَاءَ dibuang.
(وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ) dengan syari’at-syari’at yang berbeda-beda sesuai masa dan kurun. Apakah kalian mengamalkannya, mematuhinya dan meyakini bahwa perbedaan syariat tersebut karena tuntutan hikmah ilahiyah, ataukah kalian melenceng dari kebenaran dan gegabah dalam beramal?
(فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ) segeralah memanfaatkan kesempatan
(فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ) dengan balasan yang berbeda antara pelaku kebenaran dan pelaku kebathilan serta antara yang benar-benar melakukan dan yang gegabah.



Yunus (10) : 57
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

(يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ) Telah datang Al-Kitab yang terkumpul hikmah-hikmah ilmiah di dalamnya, dan menyingkap rahasia-rahasia amal.
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ) Peringatan yang mengingatkan akan siksa Allah dan menakut-nakuti dengan ancaman Allah.
(مِنْ رَبِّكُمْ) dari sisi Tuhanmu. Tidak diciptakan oleh Muhammad SAW atau dibuat oleh seorang pun.
(وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ) obat bagi kebodohan di dalam hati yang dengan kitab itu Allah sembuhkan segala kebodohan.
(وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ) dari keraguan dan i’tiqad (keyakinan) yang buruk.
(وَهُدًى) kepada yang benar dan yakin
(وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ) rahmat adalah memberi kenikmatan kepada yang membutuhkan.
(وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ) Kitab itu menyelamatkan orang-orang mukmin dari gelapnya kesesatan menuju cahaya iman. Membebaskan mereka dari tingkatan-tingkatan neraka menuju derajat di surga.

Dalam ayat ini Allah memberikan 4 macam sifat kepada Al-Qur’an, yaitu mau’izhah, syifa li maa fis-shudur, hudan dan rahmatan lil-mukminin.



Al-Baqarah (2) : 21
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa

(يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ) Tauhidkan Tuhanmu. Arti ibadah adalah merendahkan diri di hadapan-Nya dengan taat dan menghinakan diri dengan tenang.
(الَّذِي خَلَقَكُمْ) yang menumbuhkan kamu padahal kamu dahulu tidak ada
(وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) dan menciptakan orang-orang (umat) sebelum kalian semuanya.
(لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) supaya takut akan murka Allah yang menimpa pada diri kalian. Arti dari لَعَلَّ (la’alla) adalah mengharapkan sesuatu yang disenangi (tarajji). Sedangkan arti لَعَلَّ dalam firman Allah adalah sebuah kepastian.
Selengkapnya.. Share