Halaman

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Senin, 31 Oktober 2011

Fi'il, Fa'il, Maf'ul Bih, Zharaf dan Jar-Majrur (Presentasi)

Selengkapnya.. Share

Biografi Singkat Ulama 4 Mazhab

1. Abu Hanifah
Beliau adalah An-Nu’man bin Tsabit At-Tamimi Abu Hanifah Al-Kufi, pendiri mazhab Hanafi dalam masalah fiqh. Lahir pada tahun 80 H. Beliau berasal dari keturunan Persia namun dilahirkan dan dibesarkan di Kufah. Beliau menjumpai seorang sahabat bernama Anas bin Malik. Dengan demikian, Abu Hanifah termasuk golongan tabi’i. Beliau belajar fiqh pada seorang faqih bernama Hammad bin Abi Sulaiman. Imam Syafi’i berkata: “Manusia sekarang adalah keluarga Abu Hanifah dalam masalah fiqh”. Beliau banyak menulis kitab fiqh, hanya saja kitab-kitab tersebut tidak ada yang sampai kepada tangan kita sekarang. Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 H di Baghdad pada usia 70 tahun. Mazhab Hanafi berkembang di Kufah, Baghdad, Mesir, Syiria, Tunisia, Aljazair, Yaman, India, China, Bukhara, Samarkand, Afghanistan dan Turki.

2. Malik bin Anas

Beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir Abu Abdillah Al-Ashbahi Al-Madani. Lahir pada tahun 94 H di Madinah. Dari beliau-lah lahirnya mazhab Maliki. Imam Bukhari berkata: “Sanad paling shahih adalah Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar”. Selama di Madinah, beliau tidak mau naik kendaraan, beliau berkata: “Aku tidak naik kendaraan di Madinah karena di dalamnya terdapat jasad mulia Rasulullah yang dimakamkan”. Imam Malik termasuk pembesar Tabi’i Tabi’in. Beliau adalah penyusun kitab Al-Muwatha’, sebuah kitab hadis terkenal. Apabila beliau ragu-ragu akan sebuah hadis, maka beliau akan meninggalkannya secara total. Imam Asy-Syafi’i berkata: “Jika tidak ada Malik dan Sufyan (Ibn Uyainah), maka lenyaplah ilmu di Hijaz (Saudi Arabia)”. Beliau wafat pada tanggal 14 Robi’ul Awwal tahun 179 H.

3. Muhammad bin Idris

Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’. Dari Syafi’ inilah nama Asy-Syafi’i dinisbatkan. Beliau lahir di Gaza, Palestina pada tahun wafatnya Abu Hanifah, yakni tahun 150 H/767 M. Ibunya bernama Azdiyah. Silsilah beliau bertemu dengan Rasulullah pada kakeknya yang bernama Abdu Manaf. Beliau sudah hapal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun dan Al-Muwatha’ pada usia 10 tahun. Asy-Syafi’i ahli dalam bidang fiqih, qira’ah, ushul, hadis, sastra Arab, dan sya’ir. Beliau mempelajari fiqih Imam Malik di hadapan Imam Malik secara langsung. Juga berguru pada mufti Makkah yaitu Muslim bin Khalid Az-Zanji dan Sufyan bin Uyainah. Beliau pindah ke Mesir pada tahun 199 H dan menyebarkan mazhabnya di sana. Beliau wafat di Mesir pada akhir Rajab tahun 204 H/820 M dalam usia 54 tahun. Di antara beberapa karangannya adalah Al-Umm, Ar-Risalah, Ahkamul Qur’an, dan Ikhtilaful Hadis.

4. Ahmad bin Hanbal

Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy-Syaibani adalah salah seorang dari empat imam kalangan Ahlussunnah. Pemimpin mazhab Hanbali ini dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H (780 M) dan wafat pada tahun 241 H/855 M. Beliau adalah salah satu murid terbaik Asy-Syafi’i di Baghdad. Imam Asy-Syafi’i berkata: “Saya keluar dari Baghdad dan saya tidak meninggalkan orang yang lebih faqih, lebih wara’, zuhud, ‘alim dan lebih hapal selain Ibnu Hanbal”. Beliau banyak mengalami siksaan pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (Daulah Abbasiyah) tahun 212 Hijriyah dan Al-Mu’tashim karena menolak untuk mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sebagaimana keyakinan Mu’tazilah. Penyiksaan atau hukuman ini terus berlangsung hingga pemerintahan Al-Watsiq yang wafat pada tahun 232 H. Ketika pemerintahan Al-Mutawakkil, Imam Ahmad mendapat perlakuan terhormat. Al-Mutawakkil tidak pernah mengangkat seseorang untuk menduduki suatu jabatan, kecuali setelah bermusyawarah dengan beliau. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi dan Abu Dawud. Ketiganya adalah sebagian dari penghimpun hadis yang dikenal dengan istilah Kutubussittah. Di antara karangan Imam Ahmad adalah Al-Musnad yang di dalamnya mencakup 30.000 hadis.
Selengkapnya.. Share

Minggu, 30 Oktober 2011

بابُ الشِّركَةِ والوَكالَةِ (Terjemah Bab Syirkah dan Wakalah - Subulussalam)

اَلشِّرْكَةُ بِفَتْحِ أَوَّلِهِ وَكَسْرِ الرَّاءِ وَبِكَسْرِهِ مَعَ سُكُوْنِهَا وَهِيَ بِضَمِّ الشِّيْنِ اِسْمٌ لِلشَّيْءِ الْمُشْتَرَكِ وَالشِّرْكَةُ اَلْحَالَةُ الَّتِيْ تَحْدُثُ بِالْإِخْتِيَارِ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَاعِداً.
وَإِنْ أُرِيْدَ الشِّرْكَةُ بَيْنَ الْوَرَثَةِ فِيْ الْمَالِ الَمَوْرُوْثِ حُذِفَتْ "بِالْاِخْتِيَارِ"
"وَالْوَكَالَةُ" بِفَتْحِ الْوَاوِ وَقَدْ تُكْسَرُ مَصْدَرُ وَكَّلَ مُشَّدَداً بِمَعْنىَ التَّفْوِيْضِ وَالْحِفْظِ وَتُخَفَّفُ فَتَكُوْنُ بِمَعْنىَ التَّفْوِيْضِ، وَهِيَ شَرْعاً إِقَامَةُ الشَّخْصِ غَيْرَهُ مَقَامَ نَفْسِهِ مُطْلَقاً وَمُقَيَّداً.

Kata “اَلشِّرْكَةُ” dibaca fathah huruf awalnya ( ش-nya ) dan bibaca kasroh atau sukun Ra’-nya. Kata “اَلشِّرْكَةُ” jika dibaca dhammah Syin-nya (اَلشُّرْكَةُ) adalah nama bagi sesuatu yang dipersekutukan.َالشِّرْكَةُ berarti situasi yang terjadi antara dua orang atau lebih dengan kemauan sendiri. Jika yang dimaksud adalah syirkah antara ahli waris dalam harta warisan, maka kalimat “dengan kemauan sendiri”nya dihapus.
Kata “الْوَكَالَةُ” dibaca fathah waw-nya, terkadang juga dibaca kasrah waw-nya, adalah bentuk mashdar (kata benda) dari kata وَكَّلَ (wakkala) yang dibaca tasydid, berarti memasrahkan dan menjaga. Jika tanpa tasydid berarti memasrahkan. Wakalah menurut istilah adalah menempatkan orang lain pada posisinya.

عَنْ أَبي هُرَيْرةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قالَ: قالَ رَسُولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "قَالَ اللَّهُ تَعالى: أَنا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإذا خَانَ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا" رَوَاهُ أبو داوُدَ وَصَحّحَهُ الْحَاكِمُ.
وأَعَلَّهُ ابْنُ الْقَطَّانِ بِالْجَهْلِ بِحَالِ سَعِيْدٍ بْنِ حَيَّانَ وَقَدْ رَوَاهُ عَنْهُ وَلَدُهُ أَبُوْ حَيَّانَ بْنِ سَعِيْدٍ. لَكِنْ ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي الثِّقَاتِ وَذَكَرَ أَنَّهُ رَوَى عَنْهُ الْحَارِثُ بْنُ شَرِيْدٍ إِلاَّ أَنَهُ أَعَلَّهُ الدَّارُقُطْنِي بِالْإِرْسَالِ فَلَمْ يَذْكُرْ فِيْهِ أَباَ هُرَيْرَةَ وَقَالَ إِنَّهُ الصَّوَابُ.
Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Allah berfirman: Aku adalah orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati temannya. Jika salah satunya mengkhianati, maka aku keluar dari antara mereka berdua”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan di-nyatakan shahih oleh Al-Hakim.
Hadis ini dianggap memiliki ‘illat oleh Ibnu Al-Qathan karena keadaan Sa’id bin Hayyan yang tidak diketahui, namun Ibnu Hibban menyebutkan bahwa Sa’id adalah tsiqah (terpercaya) dan disebutkan bahwa Al-Harits bin Syarid meriwayatkan dari Sa’id, hanya saja Al-Harits bin Syarid ini dinilai memiliki ‘illat oleh Ad-Daruquthni karena hadisnya mursal , yakni tidak menyebut Abu Hurairah dalam hadisnya. Ad-Daruquthni berkata: itulah yang benar.

وَمَعْنَاهُ أَنَّ اللهَ مَعَهُمَا أَيْ فيِ الحِفْظِ وَالرِّعَايَةِ وَالإِمْدَادِ بِمَعُوْنَتِهِمَا فيِ مَالِهِمَا وَإِنْزَالِ الْبَرَكَةِ فيِ تِجَارَتِهِمَا فَإِذَا حَصَلَتْ الْخِيَانَةِ نَزَعَتْ البَرَكَةُ مِنْ مَالِهِمَا وَفِيْهِ حَثٌ عَلَى التَّشَارُكِ مَعَ عَدَمِ الْخِيَانَةِ وَتَحْذِيْرٌ مِنْهُ مَعَهَا.
Artinya, bahwa Allah bersama mereka berdua dalam memelihara, merawat, memberikan pertolongan pada harta mereka, dan menurunkan berkah pada perdagangan mereka. Jika terjadi pengkhianatan, maka keberkahan hartanya akan hilang. Hadis ini memberi dorongan untuk berserikat (bersekutu) dengan tanpa pengkhianatan, juga memberikan pencegahan atas pengkhianatan dalam berserikat.

وَعن السّائِبِ بْنِ يَزِيدَ الْمَخْزُومِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنّهُ كَانَ شَرِيْكَ النّبيِّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَبْلَ الْبِعْثَةِ فَجَاءَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَقَالَ: "مَرْحبَاً بِأَخِيْ وَشَرِيْكِي" رَواهُ أَحْمَدُ وأَبُو دَاوُدَ وابنُ مَاجَهْ.
(وَعن السّائِبِ بْنِ يَزيدَ المخْزُومِيِّ رضيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنّهُ كَانَ شَرِيكَ النّبيِّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم قَبْلَ الْبِعْثَةِ فَجَاءَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَقَالَ: "مَرْحبَاً بِأَخِي وَشَرِيكِي" رَواهُ أَحْمَدُ وأَبُو دَاوُدَ وابنُ مَاجَهْ).
Dari As-Sa’ib bin Yazid Al-Makhzumi ra., bahwa ia adalah teman persekutuan Nabi SAW sebelum bi’tsah (Nabi Muhammad diutus menjadi rasul). Lalu Nabi SAW datang pada hari Fathu Makkah dan berkata: “Selamat datang saudaraku dan teman persekutuanku”. HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah.

قَالَ ابْنُ عَبْدُ الْبَرِّ: اَلسَّائِبُ بْنُ أَبِي السَّائِبِ مِنَ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَمِمَّنْ حَسُنَ إِسُلاَمُهُ وَكاَنَ مِنَ الْمُعَمَّرِيْنَ عَاشَ إِلىَ زَمَنِ مُعَاوِيَةَ وَكَانَ شَرِيْكَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيهِ وَآلِهِ وَسلَّمَ فيِ أَوَّلِ الإِسْلاَمِ فِي التِّجَارَةِ فَلَمَّا كاَنَ يَوْمُ الْفَتْحِ قَالَ: "مَرْحَباً بِأَخِي وَشَرِيْكِيْ كَانَ لاَ يُمَارِيْ وَلاَ يُدَارِيْ. وَصَحَّحَهُ الحَاكِمُ".
وَلِإِبْنِ مَاجَهٍ: كُنْتَ شَرِيْكِيْ فيِ الجَاهِلِيَّةِ.
Ibnu Abdul Barr berkata: As-Sa’ib bin Abi As-Sa’ib adalah termasuk mu’allaf (yang baru masuk Islam), dan ia sebagian di antara orang yang keislamannya baik. Ia berumur panjang, ia hidup hingga masa Mu’awiyah. As-Sa’ib adalah teman persekutuan Nabi SAW di awal masa Islam dalam perdagangan. Ketika Fathu Makkah Nabi SAW bersabda: “Selamat datang saudara dan teman persekutuanku, ia tidak bertengkar dan tidak pula lembut.” Hadis ini dianggap shahih oleh Al-Hakim.
Dalam riwayat Ibnu Majah: “Engkau adalah teman persekutuanku di masa Jahiliyah.”

وَالحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ الشِّرْكَةَ كَانَتْ ثَابِتَةً قَبْلَ الإِسْلاَمِ ثُمَّ قَرَّرَهَا الشَّارِعُ عَلَى مَا كَانَتْ.

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعودٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قالَ: "إِشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ فِيمَا نُصِيْبُ يَوْمَ بَدْرٍ" الحَدِيثَ، رَوَاهُ النَّسائِيُّ.

  • وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعودٍ رضيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قالَ: "إشْتَرَكْتُ أَنا وَعَمّارٌ وَسَعْدٌ فيما نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ" الحديثَ) تمَاَمُهُ: فَجاءَ سَعْدٌ بِأَسِيْرَيْنِ وَلَمْ أَجِئْ أَنَا وَعَمَّارٌ بِشَيْءٍ 
(رَوَاهُ النَّسائِي)
Hadis ini sebagai dalil bahwa syirkah sudah ada sebelum Islam, kemudian syari’at menetapkannya. Dari Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: “Aku, ‘Ammar dan Sa’d bersekutu dalam harta yang kami peroleh pada peperangan Badar.” (Al-Hadits).
Lanjutannya: “Lalu Sa’d datang membawa dua tawanan, sedangkan aku dan ‘Ammar datang tidak membawa apapun.”

فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى صِحَّةِ الشِّرْكَةِ فيِ الْمَكَاسِبِ وَتُسَمَّى شِرْكَةَ الأَبْدَانِ وَحَقِيقَتُهَا أَنْ يُوَكِّلَ كُلٌّ صَاحِبَهُ أَنْ يَـتَقَبَّلَ وَيَعْمَلَ عَنْهُ فيِ قَدْرٍ مَعْلُوْمٍ وَيُعِيْنَانِ الصُّنْعَةَ وَقَدْ ذَهَبَ إِلَى صِحَّتِهَا الهَادَوِيَّةُ وَأَبُو حَنِيْفَةَ.
وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلىَ عَدَمِ صِحَّتِهَا لِبِنَائِهَا عَلَى الْغَرَرِ إِذْ لاَ يَقْطَعَانِ بِحُصُولِ الرِّبْحِ لِتَجْوِيْزِ تَعَذُّرِ الْعَمَلِ وَبِقَوْلِهِ قَالَ أَبُو ثَوْرٍ وَابْنُ حَزْمٍ.
Hadis ini sebagai dalil atas sahnya syirkah (bersekutu) dalam pekerjaan yang dinamakan dengan “Syirkatul Abdan” (persekutuan tubuh/badan). Realisasi syirkatul abdan adalah: seseorang mewakilkan kepada kawannya untuk menerima dan bekerja atas namanya dengan kadar pekerjaan yang telah diketahui dan mereka saling membantu pekerjaan masing-masing. Al-Hadawiyah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa syirkatul abdan adalah sah.
Asy-Syafi’i berpendapat bahwa syirkatul abdan tidak sah karena dibangun atas gharar (samar/tipuan) sehingga tidak bisa dipastikan labanya, karena pekerjaanya tersebut sulit untuk dikerjakan. Abu Tsaur dan Ibnu Hazm berpendapat sama sebagaimana Asy-Syafi'i.

وَقَالَ ابْنُ حَزْمٍ: لاَ تَجُوْزُ الشِّرْكَةُ بِالأَبْدَانِ فيِ شَيْءٍ مِنَ الأَشْياَءِ أَصْلاً فَإِنْ وَقَعَتْ فَهِيَ بَاطِلَةٌ لاَ تَلْزَمُ وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا كَسَبَ فَإِنْ اِقْتَسَمَاهُ وَجَبَ أَنْ يَقْضِيَ لَهُ مَا أَخَذَهُ وَإِلاَّ بَدَّلَهُ لِأَنَّهَا شَرْطٌ لَيْسَ فيِ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ.
Ibnu Hazm berkata: Syirkah abdan tidak diperbolehkan sama sekali dalam pekerjaan apapun. Jika itu terjadi, maka batal dan tidak tetap, dan bagi yang bekerja memperoleh bagian (sesuai) dari apa yang ia kerjakan. Jika mereka membaginya secara sama besar, maka (bagi yang pekerjaannya kurang) harus meng-qadha pekerjaannya, atau mengganti harta yang ia terima, karena syirkatul abdan adalah syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah, maka ia bathil.

وَأَمَّا حَدِيْثُ ابْنُ مَسْعُودٍ فَهُوَ مِنْ رِوَايَةِ وَلَدِهِ أَبِي عُـبَيْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ وَهُوَ خَبَرٌ مُنْقَطِعٌ لِأَنَّ أَباَ عُبَيْدَةَ لَمْ يَذْكُرْ عَنْ أَبِيْهِ شَيْئاً فَقَدْ رَوَيْنَاهُ مِنْ طَرِيْقِ وَكِيْعٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَمْرٍو بْنِ مُرَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِأَبِيْ عُبَيْدَةَ: أَتَذْكُرُ عَنْ عَبْدِ اللهِ شَيْئاً قَالَ: لاَ. وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ حُجَّةً عَلَى مَنْ قَالَ بِصِحَّةِ هَذِهِ الشِّرْكَةِ لِأَنَّهُ أَوَّلُ قَائِلٍ مَعَنَا وَمَعَ سَائِرِ المُسْلِمِينَ إِنَّ هَذِهِ الشِّرْكَةَ لاَ تَجُوْزُ وَإِنَّهُ لاَ يَنْفَرِدُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ العَسْكَرِ بِمَا يُصِيْبُ دُوْنَ جَمِيْعِ أَهْلِ الْعَسْكَرِ إِلاَّ السَّلبَ لِلْقَاتِلِ عَلَى الخِلاَفِ فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ غُلُوْلٌ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوْبِ وَلِأَنَّ هَذِهِ الشِّرْكَةَ لَوْ صَحَّ حَدِيْثُهَا فَقَدْ أَبْطَلَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْزَلَ: {قُلِ الأَنْفَالُ لِلَّهِ وَلِلرَّسُوْلِ}١ الآيَةَ، فَأَبْطَلَهَا اللهُ تَعَالىَ وَقَسَّمَهَا هُوَ بَيْنَ المُجَاهِدِيْنَ.
ثُمَّ إِنَّ الحَنَفِيَّةَ لاَ يَجِيْزُوْنَ الشِّرْكَةَ فِي الإِصْطِيَادِ وَلاَيُجِيْزُهَا الماَلِكِيَّةُ فيِ الْعَمَلِ فِي مَكَانَيْنِ فَهَذِهِ الشِّرْكَةُ فيِ الحِدِيْثِ لاَ تَجُوْزُ عِنْدَهُمْ اهـ.
Adapun hadis Ibnu Mas’ud (Abdullah bin Mas’ud) adalah riwayat dari puteranya, Abu ‘Ubaidah bin Abdullah, maka hadis ini tergolong munqathi’, karena Abu Ubaidah tidak pernah menyebutkan riwayat apapun dari ayahnya tersebut. Kami telah meriwayatkannya dari jalur Waqi’ dari Syu’bah dari ‘Amr bin Murrah bahwa ia berkata: “Aku bertanya pada Abu Ubaidah, ‘apakah ada (satu riwayat) yang (pernah) kau sebutkan dari Abdullah?’”, Abu Ubidah menjawab: “Tidak”. Seandainya hadis ini shahih, maka hadis ini bisa menjadi hujjah (dalil) untuk mengalahkan orang yang berpendapat akan sahnya syirkah ini, karena Abu Ubaidah adalah orang pertama -di antara kita dan kaum muslimin- yang berpendapat bahwa syirkah ini tidak sah dan bahwasanya seorang tentara tidak bisa memperoleh harta rampasan perang untuk dirinya sendiri kecuali salb bagi si pembunuh, dengan perbedaan pendapat ulama di dalamnya. Jika hal itu dilakukan, maka itu merupakan kejahatan yang termasuk dosa besar. Dan kalaupun hadis syirkah ini shahih, maka sudah digugurkan oleh Allah melalui firman-Nya:
قُلِ الأَنْفَالُ لِلَّهِ وَلِلرَّسُوْلِ
Artinya: Katakanlah: "Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul ..” (QS. Al-Anfal: 1)
Allah telah menggugurkannya dan membaginya kepada para mujahid (pejuang Islam).
Kemudian Hanafiyah (pengikut mazhab Abu Hanifah) tidak memperbolehkan syirkah dalam berburu, dan Malikiyah (pengikut mazhab Malik bin Anas) tidak memperbolehkan syirkah dalam pekerjaan di dua tempat. Maka syirkah yang terdapat dalam hadis ini, tidak boleh menurut Malikiyah.
هَذَا وَقَدْ قَسَّمَ الْفُقَهَاءُ الشِّرْكَةَ إِلىَ أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ أَطَالُوْا فِيْهَا وَفيِ فُرُوْعِهَا فيِ كُتُبِ الْفُرُوْعِ فَلاَ نُطِيْلُ بِهَا.
قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الشِّرْكَةَ الصَّحِيْحَةَ أَنْ يُخْرِجَ كُلُّ وَاحِدٍ مِثْلَ مَا أَخْرَجَ صَاحِبَهُ ثُمَّ يُخْلَطُ ذَلِكَ حَتىَّ لاَ يُتَمَيَّزُ ثُمَّ يَتَصَرَّفَا جَمِيْعاً إِلاَّ أَنْ يُقِيْمَ كُلٌّ مِنْهُمَا الآخَرُ مُقَامَ نَفْسِهِ وَهَذِهِ تُسَمَّى شِرْكَةَ الْعِنَانِ.
وَتَصِحُّ إِنْ أَخْرَجَ أَحَدُهُمَا أَقَلَّ مِنَ الآخَرِ مِنَ الماَلِ وَيَكُونُ الرِّبْحُ وَالخُسْرَانُ عَلَى قَدْرِ مَالِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا.
Para ahli fiqih membagi syirkah menjadi empat bagian dan mereka menjelaskan syirkah dan cabang-cabangnya ini secara panjang dalam kitab-kitab fiqih. Kita tidak akan memperpanjang pembahasan ini.
Ibnu Batthal berkata: “Ulama sepakat bahwa syirkah yang sah adalah syirkah di mana seseorang mengeluarkan harta sama seperti yang dikeluarkan mitranya lalu harta tersebut dicampur sehingga tidak dapat dibedakan, kemudian mereka semua membelanjakan harta tersebut, namun boleh juga setiap dari mereka menempati posisi mitranya yang lain. Syirkah ini dinamakan syirkah Al-‘Inan.”
وَكَذَلِكَ إِذَا اشْتَرَيَا سِلْعَةً بَيْنَهُمَا عَلَى السَّوَاءِ أَوْ اِبْتَاعَ أَحَدُهُمَا أَكْثَرَ مِنَ الآخَرِ مِنْهُمَا فَالحُكْمُ فيِ ذَلِكَ أَنْ يَأْخُذَ كُلٌّ مِنَ الرِّبْحِ وَالخُسْرَانِ بِمِقْدَارِ مَا أَعْطَى مِنَ الثَّمَنِ.
وَبُرْهَانُ ذَلِكَ أَنَّهُمَا إِذَا خَلَطَا الماَلَيْنِ فَقَدْ صَارَتْ تِلْكَ الجُمْلَةُ مُشَاعَةً بَيْنَهُمَا فَمَا اِبْتَاعَا بِهَا فَمُشَاعٌ بَيْنَهُمَا وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَثَمَنُهُ وَرِبْحُهُ وَخُسْرَانُهُ مُشَاعٌ بَيْنَهُمَا وَمِثْلُهُ السِّلْعَةُ الَّتيِ اِشْتَرَيَاهَا فَإِنَّهَا بَدَلٌ مِنَ الثَّمَنِ.
Begitu pula jika mereka membeli barang dengan sama besar, atau salah satu dari mereka membeli barang lebih banyak daripada mitranya, maka hukumnya adalah masing-masing memperoleh laba dan rugi sesuai banyaknya modal yang mereka keluarkan.
Tegasnya, jika mereka berdua mencampur dua harta maka total harta yang terkumpul adalah menjadi milik mereka dan barang yang dibeli dari harta itu juga milik mereka berdua. Jika demikian maka modal, keuntungan, dan kerugian adalah menjadi milik mereka. Begitu pula barang yang dibeli, karena barang tersebut menjadi pengganti dari modal.
وَعَنْ جَابرِ بنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قالَ: أَرَدْتُ الخُرُوجَ إِلى خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ النَّبيَّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ: "إِذَا أَتَيْتَ وَكِيلِي بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقاً" رَوَاهُ أَبُو داوُدَ وَصَحَّحَهُ.
(وَعَنْ جابرِ بنِ عَبْدِ الله رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قالَ: أَرَدْتُ الخرُوجَ إلى خْيَبَر فأَتَيْتُ النّبيَّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم فَقَالَ: "إذا أَتَيْتَ وَكِيلِي بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقاً". رواهُ أَبو دَاوُدَ وَصحّحَهُ).
تَمَامُ الحَدِيْثِ: فَإِنِ ابْتَغَى مِنْكَ آيَةً فَضَعْ يَدَكَ عَلَى تَرْقُوَتِهِ".
وَفِي الحَدِيْثِ دَلاَلَةٌ عَلَى شَرْعِيَّةِ الْوَكَالَةِ. وَالإِجْمَاعُ عَلَى ذَلِكَ. وَتَعَلُّقُ الأَحْكَامِ بِالوَكِيْلِ.
وَتَمَامُ الحَدِيْثِ فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى العَمَلِ بِالقَرِيْنَةِ فيِ مَالِ الغَيْرِ وَأَنَّهُ يُصَدِّقُ بِهَا الرَّسُولُ لِقَبْضِ العَيْنِ.
Dari Jabir bin Abdillah r.a berkata: “Aku hendak keluar menuju Khaibar, lalu aku mendatangi Nabi SAW, beliau bersabda: “Jika kau menemui wakilku di Khaibar maka ambillah lima belas wasaq darinya.” Hadis riwayat Abu Dawud dan ia men-shahih-kannya.
Hadis selengkapnya: “Jika ia meminta tanda darimu maka letakkanlah tanganmu di atas tulang selangkanya.”
Di dalam hadis terdapat petunjuk (dalalah) atas disyari’atkannya wakalah, kesepakatan ulama atas hal itu dan berkaitannya beberapa hukum dengan wakil.
Di dalam hadis selengkapnya terdapat petunjuk atas bekerja dengan harta orang lain sebab adanya indikasi (qarinah), dan bahwasanya Rasulullah SAW membenarkan untuk menerima barang.
Selengkapnya.. Share

Jumat, 28 Oktober 2011

Ukuran Ikhlas

Alkisah, ada seorang ustadz. Ia tdk mmpunyai pekerjaan tetap. Beberapa orang kaya memanggilnya untuk mengajarkan Al-Qur'an kepada anak-anaknya. Pada waktu yang di tentukan ia datang ke rumah murid-murid dengan teratur. Ketika ia mempunyai uang, ia datang dengan kendaraan umum. Ketika tidak ada ongkos, ia berjalan kaki. Setelah habis satu bulan, dengan penuh harap ia menunggu honorariumnya.
Orang kaya pertama berkata, "Pak ustad, saya yakin Bapak orang ikhlas. Bapak hanya mengharap ridha Allah. Saya akan merusak amal Bapak bila saya membayar Bapak. Saya berdoa mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Bapak berlipat ganda." Pak ustad termenung. Ia tdk bisa berkata apa-apa. Ia kebingungan. Ia mendengar kata-kata yang tampaknya benar. Tetapi ia merasa ada sesuatu yg salah dalam ucapan orang kaya itu, tetapi dimana? Ia tidak tahu. Yang terbayang dalam benaknya adalah hari-hari yang dilewatinya untuk mengajar di situ, ketika ia datang berjalan kaki atau dengan ongkos hasil pinjaman. Yang terasa adalah perutnya dan perut keluarganya, yang tidak dapat diisi hanya dengan ikhlas. Ia diam, dan airmatanya jatuh tak terasa.
Orang kaya lainnya memberinya transport yang sangat kecil, hampir tidak cukup untuk mengganti ongkos angkot yang telah dikeluarkannya. Seperti orang kaya pertama, orang kaya berikutnya juga menghiburnya dengan kata "ikhlas". Ia bingung. Kata "ikhlas" adalah kata yang agung, tetapi kini terasa seperti pentungan baginya. Ia merasa diperas, dieksploitasi. Tetapi bila menuntut haknya, ia khawatir menjadi tidak ikhlas
Selengkapnya.. Share

Mencontek

Seorang Kepala Sekolah mendapati salah satu siswa yang ketahuan mencontek saat ujian semester berlangsung.
Sang Kepala Sekolah pun memanggil orang tua siswa tersebut untuk datang ke sekolah.
Kepala Sekolah: "Anak Anda terpaksa Kami hukum karena kedapatan mencontek teman sebangkunya"
Wali Murid : "Apa bukti Pak Kepala Sekolah kalau anak saya mencontek?"

Kepala Sekolah: "ini buktinya, jawaban anak Anda sama persis dengan jawaban Rudi, teman sebangkunya. Lihat soal no.1 . Pertanyaannya adalah tanggal berapakah R.A Kartini dilahirkan? Rudi menjawab 'tanggal 21 April', anak anda juga sama 'tanggal 21 April'".
Wali Murid : Bagaimana mungkin! Anak saya sudah belajar sehari penuh. Masa, hanya gara2 jawaban sama, anak saya d tuduh mencontek. Saya tdk terima!"

Kepala Sekolah: Lihat lagi soal no. 2. Pertanyaannya; Di kota apa R.A Kartini dilahirkan? Rudi menjawab "Jepara", anak anda juga "Jepara". Jelas anak anda mencontek!
Wali Murid : (makin kesal) "Ini kan pertanyaan mudah. Bisa saja justru Rudi yang mencontek anak saya, lalu anak saya yang jadi korban".

Kepala Sekolah: "Sekarang lihat soal no.3. Pertanyaannya; "Siapa nama ayah R.A Kartini?". Rudi menjawab "Gue ngga tau", anak anda menjawab "Apalagi gue!"
Wali Murid : ???##@@
Selengkapnya.. Share

Kamis, 27 Oktober 2011

Al-Ghazali

Dia adalah Asy-Syaikh Al Imam Al Bahr Hujjatul Islam U’jubat Az-Zaman Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al Ghazali, seorang penulis kitab yang produktif dan insan yang cerdas.
Dia belajar fikih di negerinya kemudian pindah ke Naisabur bersama serombongan siswa dan belajar dari Imam Al Haramain. Dia menguasai ilmu fikih dalam waktu singkat, ilmu kalam, debat (jadal) dan menjadi figur para ahli debat. Dia mengajar dan mulai menulis buku. Sungguh dia membuat takjub gurunya Abu Al Ma’ali. Dia menunjukkan keunggulannya. Abu Hamid datang ke perkemahan Sultan dan disambut oleh menteri Nizham Al Mulk yang senang dengan kehadirannya. Dia berdebat dengan ulama-ulama besar di hadapannya. Nizham Al Mulk bangga dengannya dan Al Ghazali pun menjadi dikenal. An-Nizham mengangkatnya untuk menjadi guru di madrasah An-Nizhamiyyah Baghdad. Dia tiba di sana tahun 480 Hijriyyah pada saat dia berusia tiga puluh tahun. Dia mulai menulis ilmu Ushul fikih, fikih, kalam dan filsafat. Dia memasukkan kecerdasan akalnya di dalam karya-karyanya.
Nama Al Ghazali kian melambung dan popularitasnya terus melejit kerena dia dekat dengan Amir dan memiliki kehormatan yang tinggi. Dia mengabdikan dirinya untuk ilmu dan dunia zuhud hingga dia menolak keduniaan dan tertarik dengan keakhiratan, mendekatkan diri kepada Allah, mendalami makna ikhlas dan memperbaiki jiwa. Dia menunaikan ibadah haji, mengunjungi Baitul Maqdis, dan menemani Al Faqih Nashar bin Ibrahim di Damaskus. Al Ghazali tinggal di Damaskus beberapa saat dan menulis kitabnya Al Ihya‘. Sejak itu dia senantiasa membersihkan jiwa, menjauhkan diri dari prilaku tidak terpuji dan ‘memakai baju’ orang-orang yang bertakwa. Setelah beberapa tahun, dia kembali ke kampung halamannya menghabiskan sisa umurnya dan mengabdi kepada ilmu.
Abdul Ghafir di dalam bukunya As-Siyaq menyinggung tentang Al Ghazali hingga dia berkata, “Aku telah mengunjunginya berkali-kali. Dulu aku merasa di dalam diriku sepanjang yang aku ketahui bahwa dia mempunyai etika kurang terpuji, melihat orang dengan merendahkan karena sombong dan bangga diri dengan wawasan dan kecerdasannya. Tetapi sebaliknya dia bersih dari sikap-sikap kurang terpuji itu, kenyataan yang sebenarnya berbeda dengan dugaanku. Laki-laki ini telah sembuh dari ‘kegilaannya’.”
Abu Bakar bin Al Arabi berkata, “Syaikh kita Abu Hamid banyak menyerap ilmu para filosof. Dia ingin memuntahkannya tetapi dia tak mampu.”
Di dalam mu’jam karya Abu Ali Ash-Shadafi terdapat komentar Al Qadhi Iyadh tentang Al Ghazali. Dia berkata, “Syaikh Abu Hamid mempunyai karya yang banyak. Dia fanatik di dalam tasawuf dan berusaha untuk membela madzhab para sufi hingga menjadi penyeru tasawuf. Dia menulis banyak buku terkenal tentang tasawuf yang di dalamnya terdapat beberapa pendapat miring tentang Al Ghazali hingga asumsi umat berkata buruk tentangnya. Allah Maha Tahu tentang itu semua. Sultan kami di Barat dan para ulama menginstruksikan untuk membakar dan menjauhi karya-karyanya. Perintah itupun dilaksanakan.”
Aku katakan, “Para ulama masih berbeda pendapat dan orang-orang di dunia berbicara dengan ijtihad mereka masing-masing. Setiap argumen mereka dapat dimaklumi. Barangsiapa menolak atau melanggar ijma’, maka dia berdosa. Hanya kepada Allah semuanya kembali.”
Aku katakan, “Laki-laki ini (Al Ghazali) telah menulis buku At-Tahafut yang mencela dan menguak aib para filosof. Dia sepakat dengan mereka dalam beberapa hal dengan menganggap bahwa itu haq atau sesuai dengan agama. Dia tidak mempunyai pengetahuan tentang riwayat dan sejarah kenabian yang mendiskreditkan akal. Dia telah kecanduan dalam menelaah kitab Rasa`il Ikhwan Ash-Shafa padahal kitab itu adalah penyakit yang berbahaya dan racun yang mematikan. Jika Abu Hamid itu bukan termasuk tokoh orang-orang yang cerdas, maka lenyaplah dia. Berhati-hatilah dengan buku-buku ini. Larilah dengan membawa agamamu dari keragu-raguan para filosof jika kalian tidak ingin jatuh dalam kebingungan. Barangsiapa menginginkan kemenangan maka beribadahlah, selalu meminta pertolongan kepada Allah, meminta kepada-Nya agar ditetapkan dengan Islam dan dibimbing untuk beriman sebagaimana iman para sahabat dan para tabiin. Allah Maha Pemberi Pertolongan. Dengan niat yang benar Allah akan menolong dan mengampuni hamba-Nya.”
Abu Amr bin Ash-Shalah berkata di dalam bab yang menerangkan hal-hal penting yang harus dijauhi dari Abu Hamid, “Di dalam buku-bukunya terdapat keganjilan-keganjilan yang tidak diterima oleh pengikut madzhabnya. Di antaranya adalah pendapatnya tentang ilmu mantiq, bahwa mantiq adalah kunci dari semua ilmu. Barangsiapa tidak menguasai mantiq, maka dia tidak tsiqah (dipercaya) dalam ilmunya.” Ibnu Ash-Shalah berkata, “Pendapat ini tidak benar. Setiap pendapat yang benar, maka secara otomatis ia logis. Berapa banyak imam yang tidak menggunakan mantiq sebagai pedoman!”
Al Ghazali berkata, “Para sufi berpegang pada ilmu ilhami bukan ilmu ta’limi. Dia duduk dengan mengosongkan hati dan penuh harap dengan berkata, “Allah, Allah, Allah.” secara terus-menerus. Dia mengosongkan hatinya, tidak disibukkan dengan membaca dan menulis hadits.” Al Ghazali berkata, “Jika dia telah mencapai batasan ini, dia senantiasa menyepi di dalam rumah gelap dan berselimut dengan pakaiannya. Pada saat itu dia mendengar panggilan Al Haq “Wahai orang yang berselimut (al muddatstsir)” dan “Wahai orang yang berselimut (al muzammil).”
Aku katakan, “Nabi SAW mendengar Ya ayyuha al muddatstsir dari Jibril, dan Jibril dari Allah. Orang bodoh ini sekali-kali tidak mendengar panggilan Al Haq selamanya, namun dia mendengarnya dari setan atau mendengar sesuatu yang tak ada asal usulnya yang berasal dari khayalannya. Pertolongan hanya didapatkan dari sunnah dan ijma’.”
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid menunaikan haji dan tinggal di Syam selama dua puluh tahun menulis dan bersungguh-sungguh dalam menghasilkan karya. Tempat tinggalnya di Damaskus adalah di menara masjid sebelah barat. Dia belajar kitab Shahih Al Bukhari dari Abu Sahl Al Hafshi. Dia tiba di Damaskus pada tahun 489 H.
Abu Al Abbas Ahmad Al Khathibi berkata, “Aku berada di halaqah Al Ghazali dan aku katakan kepadanya, ‘Ayahku meninggal dan mewariskan sedikit harta untukku dan untuk saudaraku. Harta itu habis karena kami membutuhkan sesuatu untuk dimakan. Kami belajar fikih di madrasah dengan tujuan untuk mendapatkan makanan. Tujuan belajar kami adalah untuk itu bukan karena Allah.’ Maka Al Ghazali menolak jika belajarnya bukan karena Allah.”
Di antara pendapatnya adalah dia berkata, “Sesungguhnya qadar itu mempunyai rahasia yang mana kita dilarang membeberkannya. Apa rahasia qadar itu? Jika qadar itu diketahui dengan akal maka pasti akan sampai padanya. Dan jika diketahui dengan khabar (riwayat) maka qadar itu tidak ada jawabannya. Jika qadar itu diketahui dengan intuisi, maka itu hanya klaim semata.” Barangkali yang dimaksud dengan membeberkan qadar adalah menyelami dan membahasnya.
Abu Hamid berkata, “Ketahuilah bahwa agama itu punya dua bagian; pertama meninggalkan larangan dan kedua melakukan ketaatan. Meninggalkan larangan adalah yang paling berat sedangkan ketaatan dapat dilakukan oleh setiap orang. Dan meninggalkan syahwat, hanya orang-orang yang benarlah (Ash-Shiddiqun) yang mampu melaksanakannya. Oleh karena itu Nabi SAW bersabda, “Orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan kejelekan dan orang yang berjihad adalah orang yang berjuang melawan hawa nafsu.”
Abu Amir Al Abdari berkata, “Aku mendengar Abu Nashr Ahmad bin Muhammad bin Abdul Qadir Ath-Thusi bersumpah atas nama Allah bahwa dia melihat dalam mimpinya seakan-akan melihat buku-buku Al Ghazali Rahimahullah. Ternyata itu semua adalah kopian.”
Aku katakan, “Al Ghazali adalah imam besar. Dan di antara syarat seorang alim adalah dia tidak keliru.”
Muhammad bin Al Walid Ath-Thurthusyi di dalam suratnya kepada Ibnu Muzhaffar berkata, “Apa saja yang kamu sebutkan tentang Abu Hamid, aku telah mengetahui dan mengatakannya. Aku berpandangan dia adalah ulama besar yang menyatukan antara akal dan pemahaman. Dia mengabdi kepada ilmu sepanjang hidupnya. Dia dikenal oleh para ulama, memasuki dunia profesi kemudian mendalami tasawuf. Dia meninggalkan ilmu dan para ulama, dan memasuki ilmu yang membahas tentang intuisi, penjernihan hati dan bisikan setan. Dia memadukan ilmu itu dengan pendapat para filosof dan simbol-simbol Al Hallaj. Dia mulai mencela ulama fikih dan ilmu kalam.”
Dia hampir keluar dari agama. Ketika menulis kitab Al Ihya‘, dia sengaja berbicara tentang ahwal (keadaan tertentu yang dialami oleh seorang sufi -penerj.) dan simbol-simbol sufistik. Dia sebenarnya bukan ahli dalam hal itu. Dia jatuh dan terjebak dengan riwayat-riwayat palsu maudhu’.
Aku katakan, “Di dalam Al Ihya` banyak hadits-hadits batil. Di dalamnya banyak kebaikan jika seandainya tidak ada simbol-simbol dan prilaku zuhud para filosof dan sufi yang melenceng. Kita mohon kepada Allah ilmu yang manfaat. Tahukah kamu apa ilmu manfaat itu? Yaitu ilmu yang turun bersama Al Qur`an dan ditafsirkan oleh Rasul SAW dengan ucapan, prilaku dan tidak ada larangan darinya. Rasul SAW bersabda,
‘Barangsiapa membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.’
Saudaraku, kamu harus merenungi Kitab Allah dan mempelajari kitab Ash-Shahihain, Sunan An-Nasa`i, Riyadh Ash-Shalihin dan Al Adzkar karya Imam Nawawi, niscaya kamu akan beruntung dan selamat. Jauhilah pemikiran-pemikiran filosof, praktik ahli sufi, prilaku para pendeta dan khayalan orang yang senang menyepi. Seluruh kebaikan itu dengan mengikuti jalan yang lurus. Mintalah pertolongan kepada Allah. Ya Allah tunjukkan kepada kami jalan-Mu yang lurus.”
Abu Al Farj bin Al Jauzi berkata, “Abu Hamid menulis Al Ihya` dan memenuhinya dengan hadits-hadits yag batil sedangkan dia tidak tahu kebatilannya. Dia berbicara tentang penyingkapan (al kasyf) dan keluar dari aturan ilmu fikih. Al Ghazali berkata, ‘Yang dimaksud dengan bintang, bulan dan matahari yang dilihat Ibrahim AS adalah cahaya-cahaya yang merupakan hijab Allah.’ padahal bukan ini yang dimaksudkan. Ini adalah pendapat Bathiniyyah. Ibnu Al Jauzi membantah pendapat Abu Hamid di dalam kitab Al Ihya`, menerangkan kesalahannya dalam beberapa jilid kitab yang dia beri nama Al Ahya`.
Abu Al Hasan bin Sukkar membantah pendapat Al Ghazali di dalam bukunya Ihya‘u Mayyit Al Ahya fi Ar-Radd ‘ala Kitab Al Ihya‘.
Aku katakan, “Para imam masih berselisih paham antara satu dengan yang lain. Satu membantah yang lain. Hendaknya kita tidak termasuk golongan yang mencela seorang alim karena hawa dan ketidaktahuan.”
Al Ghazali wafat pada tahun 505 H pada usia lima puluh lima tahun dan dimakamkan di makam Thabaran di negeri Thus. Ulama berkata, “Julukan Al Ghazali, Al ‘Aththari dan Al Khabbazi itu dinisbatkan pada pekerjaan dalam bahasa bukan Arab (‘ajam).
Al Ghazali mempunyai seorang saudara, seorang dai terkenal yaitu Abu Al Futuh Ahmad. Dia sangat dekat dengan dunia dakwah. Dia dituduh sebagai orang yang lemah agamanya. Dia hidup hingga tahun 520 H. Dia menggantikan saudaranya mengajar di madrasah An-Nizhamiyyah di Baghdad.
Abu Ats-Tsana‘ Mahmud Al Fardhi berkata, “Tajul Islam bin Khamis menceritakan kepada kami, Al Ghazali berkata kepadaku, ‘Orang-orang memanggilku Al Ghazzali padahal aku bukan seorang Al Ghazzali. Aku adalah Al Ghazali yang dinisbatkan pada sebuah desa yang namanya Ghazalah’.”
Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Abu Hamid. Di manakah orang yang menyerupai ilmu dan keutamaannya? Tapi kita tidak mengklaim dia bersih dari salah dan keliru.
Selengkapnya.. Share