Halaman

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Senin, 08 September 2014

Latar Belakang Masalah (untuk makalah) Tentang Ijtihad Imam Abu Hanifah

Ajaran Islam pada dasarnya tidak menempatkan akal sebagai rujukan utama dalam membina syari’at, meskipun semua konsekuensi hukumnya bersifat logis. Namun tidak dapat ditolak bahwa akal memiliki peranan penting dalam istinbath hukum. Karena peranan akal itulah sehingga pada akhirnya melahirkan hasil ijtihad yang berbeda kendati bermula dari sumber yang sama. Ulama fiqih telah sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam, sebagaimana mereka juga sepakat bahwa As-Sunnah adalah sumber kedua hukum Islam.
Ijtihad itu sendiri telah ada sejak masa Rasulullah SAW, bahkan beliau adalah seorang mujtahid. Ijtihad juga dilakukan oleh para Sahabat saat Rasulullah SAW masih hidup, sebagaimana kisah yang telah terkenal tentang Mu’adz bin Jabal yang hendak diutus ke Yaman. Pada masa selanjutnya, ijtihad kian dibutuhkan dan dituntut. Hal ini mengingat semakin banyaknya kejadian dan persoalan yang dihadapi kaum muslimin, di mana tidak ada nash -baik di dalam Al-Qur’an ataupun hadits- yang secara tegas menjawab persoalan- persoalan tersebut. Sehingga banyak bermunculan para mujtahid yang metode ijtihadnya diikuti.
 

Dari sekian banyak mazhab fiqih yang muncul, hanya empat mazhab saja yang tersisa. Masing-masing dari keempat mazhab tersebut memiliki metode yang berbeda dalam berijtihad yang –juga– mengakibatkan pada perbedaan hasil ijtihad. Dan dari keempat mazhab tersebut, mazhab Hanafi merupakan yang tertua, karena pendirinya, Imam Abu Hanifah, lebih dahulu masanya daripada tiga mazhab lainnya. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i berkata:
الناسُ عِيالٌ على أبي حنيفةَ في الفقهِ

Artinya: “Manusia adalah keluarga Abu Hanifah dalam fiqih.”
 

Perbedaan hasil ijtihad tersebut bukan terjadi pada prinsip-prinsip dan pokok-pokok beragama seperti kewajiban beriman kepada Allah, mempercayai bahwa Muhammad SAW adalah rasul-Nya yang terakhir, kewajiban shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, atau semacamnya yang telah ditetapkan melalui nash yang qath’i. Akan tetapi, perbedaan itu terjadi dalam masalah-masalah yang menjadi cabang dari pokok-pokok agama tersebut (furu’iyah). Meskipun hasil ijtihad bukanlah suatu kebenaran mutlak, namun para mujtahid telah berupaya sedemikian keras untuk menetapkannya. Untuk itu, Imam Abu Hanifah berkata:
"هذا أحسنُ ما وصلْنا إليهِ، فَمَن رأَى خيرًا مِنهُ فَليتَّبِعْهُ"
Artinya: “Inilah apa yang terbaik yang kami capai, dan barangsiapa yang melihat yang lebih baik darinya, maka ikutilah.”
Share

Related Post | Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentar