Halaman

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jumat, 28 Oktober 2011

Ukuran Ikhlas

Alkisah, ada seorang ustadz. Ia tdk mmpunyai pekerjaan tetap. Beberapa orang kaya memanggilnya untuk mengajarkan Al-Qur'an kepada anak-anaknya. Pada waktu yang di tentukan ia datang ke rumah murid-murid dengan teratur. Ketika ia mempunyai uang, ia datang dengan kendaraan umum. Ketika tidak ada ongkos, ia berjalan kaki. Setelah habis satu bulan, dengan penuh harap ia menunggu honorariumnya.
Orang kaya pertama berkata, "Pak ustad, saya yakin Bapak orang ikhlas. Bapak hanya mengharap ridha Allah. Saya akan merusak amal Bapak bila saya membayar Bapak. Saya berdoa mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Bapak berlipat ganda." Pak ustad termenung. Ia tdk bisa berkata apa-apa. Ia kebingungan. Ia mendengar kata-kata yang tampaknya benar. Tetapi ia merasa ada sesuatu yg salah dalam ucapan orang kaya itu, tetapi dimana? Ia tidak tahu. Yang terbayang dalam benaknya adalah hari-hari yang dilewatinya untuk mengajar di situ, ketika ia datang berjalan kaki atau dengan ongkos hasil pinjaman. Yang terasa adalah perutnya dan perut keluarganya, yang tidak dapat diisi hanya dengan ikhlas. Ia diam, dan airmatanya jatuh tak terasa.
Orang kaya lainnya memberinya transport yang sangat kecil, hampir tidak cukup untuk mengganti ongkos angkot yang telah dikeluarkannya. Seperti orang kaya pertama, orang kaya berikutnya juga menghiburnya dengan kata "ikhlas". Ia bingung. Kata "ikhlas" adalah kata yang agung, tetapi kini terasa seperti pentungan baginya. Ia merasa diperas, dieksploitasi. Tetapi bila menuntut haknya, ia khawatir menjadi tidak ikhlas
Share

Related Post | Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentar