Halaman

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Senin, 19 Desember 2011

TEORI AL-MAWARDI TENTANG IMAMAH (KEPALA NEGARA – Part 2)

Konsep Al-Mawardi tentang pembentukan lembaga imamah dan pemilihan imam menyerupai konsep “kontrak” yang melibatkan dua pihak, yaitu imam (ahl imamah) dan rakyat atau pemilih (ahl al-ikhtiyar), atau ahl hall wa’l-‘aqd (orang yang mengurai dan mengikat). Ahl hall wa’l-‘aqd ini dapat dipandang sebagai sebuah lembaga yang mewakili aspirasi rakyat pada umumnya. Para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai jumlah anggota ahl hall wa’l-‘aqd. Sebagian berpendapat bahwa imam hanya dapat dipilih oleh mayoritas anggota ahl hall wa’l-‘aqd setiap negeri (bagian) agar dapat diperoleh persetujuan mayoritas rakyat. Tetapi Al-Mawardi mempertanyakan pendapat ini, karena fakta sejarah menunjukkan bahwa peristiwa bai’ah terhadap Abu Bakar sebagai khalifah dapat dilakukan hanya oleh orang-orang di Madinah, tanpa harus menunggu bai’ah dari mereka yang berada di luar Madinah.

Selain metode pemilhan melalui lembaga ahl al-ikhtiyar atau ahl hall wa’l-‘aqd, Al-Mawardi membolehkan pengangkatan atau penunjukan imam oleh imam yang sedang berkuasa tanpa meminta pertimbangan dari ahl al-ikhtiyar, asalkan calon penggantinya bukan ayahnya atau anak laki-lakinya.
Tentang hal ini, ada baiknya dikemukakan pendapat Abu Ya’la[1] yang juga menulis buku berjudul Al-Ahkam Al-Sulthaniyah. Menurut Abu Ya’la, pertimbangan dari ahl hall wa’l-‘aqd tetap diperlukan, karena ia membedakan antara langkah-langkah pencalonan imam dan kontrak (bai’ah) imam. Imam yang sedang berkuasa berhak untuk mengajukan calon penggantinya, tetapi bai’ah tetap menjadi hak ahl hall wa’l-‘aqd pada saat penggantian. Bahkan Abu Ya’la menambahkan bahwa imam tidak boleh menentukan atau mencalonkan ahl al-ikhtiyar yang akan memberikan bai’ah kepada calonnya. Dengan demikian konsep Abu Ya’la mengenai ‘ahd atau istikhlaf tampak menjunjung tinggi peranan penting kehendak rakyat dalam memilih imam, karena dengan demikian rakyat relatif terwakili oleh lembaga ahl hall wa’l-‘aqd.

Menurut Al-Mawardi, seorang imam atau calon imam harus memenuhi tujuh persyaratan, yaitu:
1. Harus memiliki rasa keadilan (‘adalah)
2. Harus mempunyai pengetahuan (‘ilm) yang memadai yang memungkinkannya mampu memutuskan berbagai kasus menurut ijtihadnya
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraannya
4. Sehat tubuh, tidak cacat yang dapat menghambatnya bergerak cepat dalam melaksanakan tugasnya
5. Berwawasan luas sehingga dapat mengurus persoalan orang banyak dan menangani urusan mereka
6. Punya keberanian melindungi wilayah (teritori) Islam dan melaksanakan jihad terhadap musuh
7. Punya garis keturunan dari Quraisy

Kualifikasi terakhir ini tidaklah dipandang sebagai suatu keharusan oleh pemikir-pemikir Sunni setelahnya dan penulis-penulis modern, sebab kualifikasi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan persamaan hak antara sesama muslim tanpa memandang asal-usul atau keturunannya. Bahkan Rasululllah SAW sendiri diakui oleh kaum Sunni tidak pernah menyatakan dengan tegas siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin umat.

__________________________________
[1] Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husein bin Muhammad Al-Farra’ Al-Hanbali (380-458 H). Mengarang sejumlah kitab tentang politik dan administrasi negara. Antara lain, Itsbat Al-Imamah wa Al-Khulafa’ Al-Arba’ah, Al-Amr bi Al-Ma’ruf, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah dan lain-lain. Abu Ya’la adalah juga Qadhi Al-Qudhat kota Baghdad atas penunjukan Khalifah Al-Qaim Bi Amrillah (Muhammad bin Ubaidillah Al-Mahdi), khalifah penerus kekhalifahan Al-Qadir Billah.
Share

Related Post | Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentar